Beranda

    Social Items

Setelah berjalan kaki selama berhari-hari menempuh rute trek ABC yang melelahkan itu, apa yang membuat rasa penat kita terbayar? Bagi kebanyakan pendaki, jawabannya adalah kesempatan melihat matahari terbit di Annapurna. Saat berada di Annapurna Base Camp, kita bisa menyaksikan fenomena gunung emas saat fajar menyingsing.

Meskipun sudah berhasil mencapai Machapuchare Base Camp atau MBC, para pendaki jangan pernah menganggap enteng gejala altitude sickness. Kalau ada gejala mual-mual atau pusing, jangan sekali-kali melanjutkan pendakian karena akibatnya bisa sangat fatal. Ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi faktanya ada banyak pendaki yang terkena. Kenalan saya Timothy yang asal Indonesia itu ternyata juga mengalaminya. Sayangnya, dia tidak mengatasi dengan benar gejala penyakit itu sehingga harus menderita setelah tiba di MBC.

Baca Juga: Seberapa Murah Biaya Backpacking ke Nepal?

Tanda-tanda terkena altitude sickness sebenarnya sudah dirasakan Timothy sejak tiba di pos Deurali yang berada di ketinggian 3100 meter. Tapi entah karena merasa tanggung ingin menyelesaikan rute trek hari itu juga, ia tetap melanjutkan pendakian ke pos MBC yang berada di ketinggian 3700 meter. Harusnya kalau sudah ada tanda-tanda terkena altitude sicknes, pendaki tak boleh melanjutkan pendakian ke titik yang lebih tinggi sampai gejala penyakit tersebut hilang. Tapi terkadang keinginan untuk segera tiba di titik tertinggi sering mengalahkan pertimbangan rasional, apalagi kalau melihat kawan-kawan pendaki lainnya sudah berhasil melakukannya.

Panorama Anapurna Base Camp
Sebenarnya altitude sickness adalah reaksi wajar dari tubuh yang belum terbiasa dengan tipisnya lapisan udara. Jadi kalaupun terkena altitude sickness, bukan berarti pendakian kita bakal gagal. Hanya saja kita perlu lebih sabar dengan memberi waktu lebih lama bagi tubuh untuk menyesuaikan diri. Reaksi tubuh orang terhadap ketinggian memang berbeda-beda. Ada yang bisa cepat menyesuaikan diri, tapi ada juga yang perlu waktu lebih lama. Itulah sebabnya, penting sekali menyediakan waktu ekstra minimal sehari saat melakukan pendakian ABC untuk antisipasi kalau-kalau kita terkena altitude sickness.

Baca Juga: Jangan Lihat Upacara Kremasi di Nepal Kalau Lemah Hati

Ngerinya, gejala altitude sickness tiba-tiba bisa kumat lagi meski si pendaki merasa sudah sembuh. Begitu pula yang terjadi dengan Timothy, ia tiba-tiba terserang sesak nafas di jam dua pagi saat semua orang sedang lelap tertidur. Padahal, saat makam malam dia mengaku sudah merasa baikan dan siap melanjutkan pendakian esok paginya ke ABC. Tentu saja, keluhan sesak nafas di pagi buta itu membuat saya dan Danny sempat panik karena kami tak punya pengalaman untuk mengobati penyakit itu. Tapi untung beribu untung, petugas yang berjaga di pos MBC sudah siap dengan obat-obatan sebagai pertolongan pertama. Akibat insiden ini, saya juga diomeli petugas gara-gara membiarkan teman yang terkena altitude sickness melanjutkan pendakiannya. Ini juga jadi pelajaran berharga bagi siapa saja yang melakukan kegiatan trekking. Sebagai teman kita harusnya bisa menjadi kontrol supaya kejadian seperti ini tak berakibat fatal.

Patok yang menandai Annapurna Base Camp
Meski pagi dini hari itu sempai diwarnai kepanikan, pukul lima pagi saya dan Danny tetap melanjutkan pendakian menuju ABC yang bisa dijangkau sekitar 2-3 jam jalan kaki dari MBC. Karena kondisinya tak memungkinkan, Timothy tak bisa ikut dan harus beristirahat di MBC. Karena sakit-sakitan itu, dia nampak tak bersemangat lagi untuk melanjutkan pendakian sampai ke ABC. Rencananya Timothy akan langsung turun setelah hari agak siang. Kebetulan juga ada beberapa grup yang mau turun, saya meminta mereka untuk menemani Timothy berjalan ke pos pendakian yang berada di bawah.

Suhu di pagi hari itu mencapai -2 derajat Celcius, artinya di bawah titik beku. Anehnya saya tak merasa kedinginan sama sekali, mungkin karena terlalu girang sebentar lagi akan menginjakkan kaki di ABC. Saya baru menyadari udara berada di bawah titik beku saat hendak cuci muka di wastafel. Air keran tak bisa keluar karena masih membeku! Begitu masuk ke toilet, saya lihat sebagian air di dalam baskom juga membeku. Tak ada pilihan lain, saya pun cuci muka menggunakan air es itu.

Perjalanan dari MBC menuju ABC jadi bagian yang paling mengesankan dalam pendakian di Annapurna itu. Fajar sudah sedikit mengintip, tapi bintang-bintang di langit masih bisa dilihat dengan jelas. Baru kali itu saya melihat bintang-bintang begitu jelas, seolah langit sangat dekat. Langit yang masih setengah gelap membuat puncak Annapurna yang tertutup salju abadi itu terlihat magis. Panorama yang benar-benar fantastis, membawa kita seolah berada di dunia mimpi.

Hari sudah beranjak terang saat kami sampai di ABC, perhentian terakhir yang berada di ketinggian 4100 meter. Kami lalu disambut dengan keajaiban lainnya, yakni pemandangan gunung emas atau lazim disebut golden sunrise. Annapurna Base Camp dikelilingi oleh puncak Machapuchare (8993 meter), Gangapura (7454 meter), Annapurna South (7220 meter) dan Annapurna (8091 meter). Saat matahari pagi mulai memantulkan cahayanya ke puncak-puncak agung yang tertutup salju abadi ini, muncullah warna kemilau emas yang menakjubkan. Panorama ini tidak berlangsung lama, hanya bisa disaksikan di pagi hari. Menjelang tengah hari, warna salju di puncak gunung itu akan terlihat putih seperti warna aslinya.

Baca Juga: Menjajal Rute Trekking Singkat di India

Setelah sukses melihat golden sunrise di ABC, kami langsung bergegas turun. Untuk mengurangi resiko terkena altitude sickness, pendaki memang dianjurkan tidak berlama-lama di ABC yang posisinya cukup tinggi dari permukaan laut. Meski resikonya besar, ada cukup banyak pendaki yang tetap berani menginap di ABC. Kata mereka, melihat langit di Annapurna Base Camp saat malam hari memberi sensasi tersendiri. Kalau saya sih pilih tidak mau ambil resiko, toh sebenarnya tujuan trekking kita sudah tercapai yakni menginjakkan kaki di Annapurna Base Camp. 

Pemandangan sepanjang rute menurun dari ABC untuk kembali ke MBC masih saja mengundang decak kagum. Kali ini saya bisa menyaksikan puncak-puncak di gugusan Annapurna lebih jelas karena matahari sudah meninggi. Langit juga berwarna biru cerah, seolah menggambarkan kegembiraan hati saya karena sudah berhasil menaklukkan Annapurna Base Camp. Buat pendaki yang sudah berpengalaman, capaian ini mungkin dianggap tidak ada apa-apanya. Tapi bagi pendaki pemula seperti saya, ini adalah salah satu gol terbesar yang pernah saya raih dalam hidup!

Menaklukkan Rute Trekking ABC tanpa Pemandu (Bagian 3)

Setelah berjalan kaki selama berhari-hari menempuh rute trek ABC yang melelahkan itu, apa yang membuat rasa penat kita terbayar? Bagi kebanyakan pendaki, jawabannya adalah kesempatan melihat matahari terbit di Annapurna. Saat berada di Annapurna Base Camp, kita bisa menyaksikan fenomena gunung emas saat fajar menyingsing.

Meskipun sudah berhasil mencapai Machapuchare Base Camp atau MBC, para pendaki jangan pernah menganggap enteng gejala altitude sickness. Kalau ada gejala mual-mual atau pusing, jangan sekali-kali melanjutkan pendakian karena akibatnya bisa sangat fatal. Ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi faktanya ada banyak pendaki yang terkena. Kenalan saya Timothy yang asal Indonesia itu ternyata juga mengalaminya. Sayangnya, dia tidak mengatasi dengan benar gejala penyakit itu sehingga harus menderita setelah tiba di MBC.

Baca Juga: Seberapa Murah Biaya Backpacking ke Nepal?

Tanda-tanda terkena altitude sickness sebenarnya sudah dirasakan Timothy sejak tiba di pos Deurali yang berada di ketinggian 3100 meter. Tapi entah karena merasa tanggung ingin menyelesaikan rute trek hari itu juga, ia tetap melanjutkan pendakian ke pos MBC yang berada di ketinggian 3700 meter. Harusnya kalau sudah ada tanda-tanda terkena altitude sicknes, pendaki tak boleh melanjutkan pendakian ke titik yang lebih tinggi sampai gejala penyakit tersebut hilang. Tapi terkadang keinginan untuk segera tiba di titik tertinggi sering mengalahkan pertimbangan rasional, apalagi kalau melihat kawan-kawan pendaki lainnya sudah berhasil melakukannya.

Panorama Anapurna Base Camp
Sebenarnya altitude sickness adalah reaksi wajar dari tubuh yang belum terbiasa dengan tipisnya lapisan udara. Jadi kalaupun terkena altitude sickness, bukan berarti pendakian kita bakal gagal. Hanya saja kita perlu lebih sabar dengan memberi waktu lebih lama bagi tubuh untuk menyesuaikan diri. Reaksi tubuh orang terhadap ketinggian memang berbeda-beda. Ada yang bisa cepat menyesuaikan diri, tapi ada juga yang perlu waktu lebih lama. Itulah sebabnya, penting sekali menyediakan waktu ekstra minimal sehari saat melakukan pendakian ABC untuk antisipasi kalau-kalau kita terkena altitude sickness.

Baca Juga: Jangan Lihat Upacara Kremasi di Nepal Kalau Lemah Hati

Ngerinya, gejala altitude sickness tiba-tiba bisa kumat lagi meski si pendaki merasa sudah sembuh. Begitu pula yang terjadi dengan Timothy, ia tiba-tiba terserang sesak nafas di jam dua pagi saat semua orang sedang lelap tertidur. Padahal, saat makam malam dia mengaku sudah merasa baikan dan siap melanjutkan pendakian esok paginya ke ABC. Tentu saja, keluhan sesak nafas di pagi buta itu membuat saya dan Danny sempat panik karena kami tak punya pengalaman untuk mengobati penyakit itu. Tapi untung beribu untung, petugas yang berjaga di pos MBC sudah siap dengan obat-obatan sebagai pertolongan pertama. Akibat insiden ini, saya juga diomeli petugas gara-gara membiarkan teman yang terkena altitude sickness melanjutkan pendakiannya. Ini juga jadi pelajaran berharga bagi siapa saja yang melakukan kegiatan trekking. Sebagai teman kita harusnya bisa menjadi kontrol supaya kejadian seperti ini tak berakibat fatal.

Patok yang menandai Annapurna Base Camp
Meski pagi dini hari itu sempai diwarnai kepanikan, pukul lima pagi saya dan Danny tetap melanjutkan pendakian menuju ABC yang bisa dijangkau sekitar 2-3 jam jalan kaki dari MBC. Karena kondisinya tak memungkinkan, Timothy tak bisa ikut dan harus beristirahat di MBC. Karena sakit-sakitan itu, dia nampak tak bersemangat lagi untuk melanjutkan pendakian sampai ke ABC. Rencananya Timothy akan langsung turun setelah hari agak siang. Kebetulan juga ada beberapa grup yang mau turun, saya meminta mereka untuk menemani Timothy berjalan ke pos pendakian yang berada di bawah.

Suhu di pagi hari itu mencapai -2 derajat Celcius, artinya di bawah titik beku. Anehnya saya tak merasa kedinginan sama sekali, mungkin karena terlalu girang sebentar lagi akan menginjakkan kaki di ABC. Saya baru menyadari udara berada di bawah titik beku saat hendak cuci muka di wastafel. Air keran tak bisa keluar karena masih membeku! Begitu masuk ke toilet, saya lihat sebagian air di dalam baskom juga membeku. Tak ada pilihan lain, saya pun cuci muka menggunakan air es itu.

Perjalanan dari MBC menuju ABC jadi bagian yang paling mengesankan dalam pendakian di Annapurna itu. Fajar sudah sedikit mengintip, tapi bintang-bintang di langit masih bisa dilihat dengan jelas. Baru kali itu saya melihat bintang-bintang begitu jelas, seolah langit sangat dekat. Langit yang masih setengah gelap membuat puncak Annapurna yang tertutup salju abadi itu terlihat magis. Panorama yang benar-benar fantastis, membawa kita seolah berada di dunia mimpi.

Hari sudah beranjak terang saat kami sampai di ABC, perhentian terakhir yang berada di ketinggian 4100 meter. Kami lalu disambut dengan keajaiban lainnya, yakni pemandangan gunung emas atau lazim disebut golden sunrise. Annapurna Base Camp dikelilingi oleh puncak Machapuchare (8993 meter), Gangapura (7454 meter), Annapurna South (7220 meter) dan Annapurna (8091 meter). Saat matahari pagi mulai memantulkan cahayanya ke puncak-puncak agung yang tertutup salju abadi ini, muncullah warna kemilau emas yang menakjubkan. Panorama ini tidak berlangsung lama, hanya bisa disaksikan di pagi hari. Menjelang tengah hari, warna salju di puncak gunung itu akan terlihat putih seperti warna aslinya.

Baca Juga: Menjajal Rute Trekking Singkat di India

Setelah sukses melihat golden sunrise di ABC, kami langsung bergegas turun. Untuk mengurangi resiko terkena altitude sickness, pendaki memang dianjurkan tidak berlama-lama di ABC yang posisinya cukup tinggi dari permukaan laut. Meski resikonya besar, ada cukup banyak pendaki yang tetap berani menginap di ABC. Kata mereka, melihat langit di Annapurna Base Camp saat malam hari memberi sensasi tersendiri. Kalau saya sih pilih tidak mau ambil resiko, toh sebenarnya tujuan trekking kita sudah tercapai yakni menginjakkan kaki di Annapurna Base Camp. 

Pemandangan sepanjang rute menurun dari ABC untuk kembali ke MBC masih saja mengundang decak kagum. Kali ini saya bisa menyaksikan puncak-puncak di gugusan Annapurna lebih jelas karena matahari sudah meninggi. Langit juga berwarna biru cerah, seolah menggambarkan kegembiraan hati saya karena sudah berhasil menaklukkan Annapurna Base Camp. Buat pendaki yang sudah berpengalaman, capaian ini mungkin dianggap tidak ada apa-apanya. Tapi bagi pendaki pemula seperti saya, ini adalah salah satu gol terbesar yang pernah saya raih dalam hidup!

4 komentar:

  1. Cerita yg sangat lengkap dan jelas mas. Saya bacanya sambil menahan nafas dan senyum-senyum sendiri. Semoga 2019 sy bisa ikut nge-camp di Annapurna, amin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah menyempatkan mampir di blog saya. Semoga perjalanannya ke Nepal tahun depan sukses!

      Hapus
  2. Hai mas hairun. Saya baca blgnya mas keren deh. Tapi beneran gk pernah kesasar tuh mas selama trakking? Suami pengen banget kesitu. Cuma saya yg ngebaca blog ini jadi mikir. Kami gk punya pengalaman trakking samsek.. Apa masih ok mas kalau tanpa pemandu?

    BalasHapus
  3. paling awal-awal rute aja nemu cabang, tapi yang dilewati perkampungan penduduk jadi gampang tanya orang. bagian atas cuma ada satu rute. asal mengikuti terus rutenya, gak bakal nyasar. tantangannya lebih ke fisik karena waktu trekkingnya lumayan lama dan ada resiko altitude sickness.

    BalasHapus

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...