Beberapa minggu sebelum berangkat ke Nepal, saya sudah kasak-kusuk mencari partner trekking lewat situs trekkingpartners.com. Singkat cerita, saya berhasil mendapat partner bernama Zulkifli dari Malaysia. Awalnya si Zulkifli ini begitu semangat ingin menempuh rute trekking ABC tanpa pemandu dengan bujet murah. Tapi belakangan setelah beberapa orang bergabung ke grup kami, mereka memutuskan memakai jasa tur yang harganya melebihi bujet saya. Saya akhirnya keluar dari grup itu dan tetap pada rencana semula, yakni trekking tanpa pemandu.
Baca juga: Seberapa Murah Biaya Backpacking ke Nepal?
Beberapa backpacker yang saya temui di Kathmandu maupun Pokhara meyakinkan saya bahwa tidak masalah sama sekali menempuh rute trek ABC tanpa pemandu. Sepanjang perjalanan ada banyak pendaki solo, jadi saya tinggal bergabung saja. Orang tua saja bisa menyelesaikan rute trekking ABC, masa saya yang masih muda tidak kuat, kata mereka. Kesannya kok enteng sekali, tapi kalau dijalani ternyata tidak gampang-gampang amat. Apalagi rute trekking ABC ini butuh waktu 7-10 hari untuk menyelesaikannya. Dengan durasi minimal seminggu itu, kondisi fisik kita harus benar-benar prima.
Setelah menginap selama dua hari di Pohkara untuk persiapan fisik, saya akhirnya memulai pendakian ABC. Pukul tujuh pagi saya sudah menunggu bus di halte Kilometer Zero yang jaraknya tak seberapa jauh dari kawasan Danau Phewa, tempat wisatawan menginap. Tak jelas mengapa orang lokal menyebut tempat itu Kilometer Zero, mungkin ini titik nol kilometer Pokhara? Dari halte ini kita bisa menyetop bus ke Nayapul yang jadi pos pertama pendakian ABC. Rute trekking menuju Poon Hill yang durasinya lebih singkat juga dimulai dari Nayapul. Karena ABC maupun Poon Hill adalah rute trekking yang sangat populer, bus ke Nayapul ini biasanya selalu penuh dengan wisatawan yang ingin memulai pendakian.
Bus yang membawa pendaki ke Nayapul |
Baca juga: Jangan Lihat Upacara Kremasi di Nepal Kalau Lemah Hati
Perjalanan dari Kilometer Zero menuju Nayapul memakan waktu 2,5 jam dan ongkosnya cuma 150 rupee atau sekitar Rp 19 ribu saja. Saya jadi teringat Zulkifli dan anggota grupnya yang berniat menyewa jeep menuju Nayapul dengan biaya 1000 rupee per orang. Kalau tetap bergabung dengan Zulkifli dan teman-temannya, dipastikan kantong saya benar-benar bakal jebol. Padahal terbukti ada cara lain yang jauh lebih murah. Saya jadi bersyukur tidak jadi bergabung dengan grup itu.
“You already got trekking permit?”, tanya Ashit ingin memastikan kesiapan saya setelah kami turun dari bus. “Oh, of course I got it”, jawab saya. Untuk mendaki rute Annapurna Base Camp, memang perlu izin khusus yang bisa diurus di Kathmandu atau Pokhara. Ketika kami tiba di Nayapul, terlihat ada banyak sekali pendaki yang belum bisa memulai pendakian karena izinnya belum turun. Usut punya usut, ternyata mereka ini mengurus izin trekking lewat agen tur di pokhara. Jadi mereka masih menunggu petugas jasa tur mengantarkan izin trekking dari Pokhara. Langkah yang kurang cerdas menurut saya, mengapa mereka tak mengurusnya sendiri? Gara-gara itu mereka membuang waktu dengan percuma.
Karena sudah mengantongi izin, kami langsung saja melanjutkan perjalanan menuju desa Birethanti yang berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki dari Nayapul. Desa ini adalah checkpoint pertama untuk rute trek ABC, Poon Hill, serta beberapa jalur pendakian lainnya. Semua pendaki yang sudah memiliki izin wajib melapor di sini dengan mencatatkan nama, nomor paspor, serta data penting lainnya. Bagi yang tiba sore hari di Nayapul, Birethanti juga lazim dijadikan tempat menginap para pendaki. Tempatnya memang cukup ideal untuk menginap. Selain panoramanya sangat khas pedesaan di Nepal, juga ada banyak guesthouse dan tempat makan dengan harga terjangkau.
Baca juga: Kiat Trekking di Nepal dengan Biaya Irit
Di hari pertama pendakian, saya berjalan kaki sampai ke Siwai yang memakan waktu sekitar lima jam. Hari pertama ini medannya cukup gampang karena pendaki hanya menemui sedikit tanjakan. Tapi separuh dari jalur tersebut pendaki harus melewati jalan tanah yang juga sering dilewati mobil jeep. Alhasil kalau ada mobil jeep lewat, jalanan tak beraspal itu menjadi luar biasa berdebu. Pendaki yang memilih jalan kaki seperti saya pastinya bakal tersiksa karena debu-debu ini. Untungya setelah melewati Syauli Bazaar, ada pilihan jalur setapak yang hanya bisa dilewati pejalan kaki.
Saat mulai masuk ke jalur setapak inilah pemandangannya benar-benar keren. Kita akan melewati rumah-rumah penduduk desa dengan latar belakang pegunungan yang cantik. Meski jalur ke Siwai ini bisa ditempuh dengan kendaraan, sebagian pendaki termasuk saya tetap memilih berjalan kaki. Walau lebih capek karena harus jalan, kita punya lebih banyak kesempatan untuk melihat dan berinteraksi dengan penduduk lokal.
Sampai di Kimche, saya berpisah dengan Ashit dan istrinya karena mereka memutuskan akan menginap di Gandruk, sementara saya memilih menginap di Kyumi. Jalur trek ABC memang ada banyak variasi, tapi setelah melewati desa Chomrong hanya ada satu jalur yang bisa dilewati pendaki. Laksmi, istri Ashit nampak mulai kepayahan karena harus mengendong sendiri ransel yang cukup berat. Mereka berniat menyewa porter keesokan harinya supaya perjalanan lebih ringan. Nah, di Gandruk karena desanya cukup besar, ada banyak porter yang siap memberi bantuan dengan bayaran sekitar USD 15-20 per hari. Opsi ini bisa dipilih kalau kita merasa terlalu berat melanjutkan pendakian dengan membawa beban. Saya sendiri merasa baik-baik saja, jadi tetap lanjut dengan membawa sendiri ransel yang beratnya 10 kilogram.
Baca juga: Menjajal Rute Trekking Singkat di India
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika saya sampai di Kyumi. Desa ini lumayan sepi, terletak di lembah sungai dan dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Di Kyumi hanya ada dua penginapan yang terlihat sangat sepi ketika saya berada di sana. Di penginapan yang saya pilih ada 10 kamar, namun hanya ada dua orang pendaki yang menginap, yakni saya dan seorang cewek asal Korea Selatan bernama Yoon Jung. Dia tidak sendiri, tapi ditemani seorang pemandu lokal yang merangkap sebagai porter. Yoon Jung ini mengaku belum pernah sekalipun mendaki gunung. Tapi dia sangat yakin bisa melakukannya. Boleh juga semangat cewek yang satu ini, batin saya.
Penginapan di Kyumi itu sangat sederhana, tak ada pemanas ruangan tapi ada penerangan lampu listrik. Sinyal telepon selular juga sangat kuat, bahkan kita masih bisa memutar video Youtube dengan lancar. Hal yang cukup mengejutkan ternyata penginapan itu punya restoran dengan menu cukup beragam. Saya memesan nasi goreng tuna untuk makan malam, sedangkan Yoon Jung menikmati spring roll yang kelihatannya enak. Saya sempat berbincang sebentar dengan pemandu Yoon Jung yang bernama Nabil. Kesempatan itu saya gunakan untuk mengorek informasi penting mengenai jalur trekking ABC. Untungnya si Nabil ini cukup ramah, dia tak pelit memberi informasi meskipun bukan pemandu saya.
Angin malam di pegunungan di Nepal cukup menusuk tulang, apalagi saat itu sudah akhir Desember yang terhitung awal musim dingin. Meski baru pukul delapan malam, kami sudah masuk ke kamar masing-masing karena tak tahan dingin. Selimut tebal yang disediakan pemilik guesthouse ternyata cukup membantu. Di tempat yang dingin seperti itu memang lebih nyaman meringkuk di bawah selimut.
Yuk, lanjut baca ke bagian dua.....
Tidak ada komentar
Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...