Beranda

    Social Items

Hari kedua adalah bagian terberat dalam pendakian ABC. Setelah Kyumi, medan yang harus dihadapi adalah tangga-tangga batu curam yang seperti tak ada habis-habisnya. Mereka yang kurang fit secara fisik bakal KO di bagian ini. Khususnya jalur dari Jhinu Danda menuju desa Chomrong, benar-benar bakal menguras energi karena tangga batu yang harus dilalui seperti menara yang menjulang. Kondisi pendakian makin tak nyaman karena terik matahari yang begitu menyengat, membuat tubuh banjir peluh. Beruntung, meski agak kepayahan, akhirnya saya berhasil mencapai desa Chomrong pukul dua siang.

Yoon Jung dan pemandunya yang tertinggal di belakang berhasil mencapai Chomrong sekitar satu jam kemudian. Namun mereka tetap lanjut ke pos berikutnya karena jadwal yang sempit. Meski sebenarnya masih ada waktu untuk melanjutkan pendakian, saya memilih menginap di desa Chomrong karena tak mau terlalu memforsir energi. Jadwal saya cukup longgar, jadi mengapa tak dinikmati saja pendakian ini tanpa diburu waktu?

Baca Juga: Kiat Trekking di Nepal dengan Biaya Irit

Chomrong adalah desa terbesar di jalur pendakian ABC. Penginapan di sini juga banyak yang bagus-bagus, tak kalah dengan Pokhara. Meski atmosfernya masih kental suasana pedesaan di Nepal, ada beberapa fasilitas untuk turis yang bisa dibilang cukup mewah untuk ukuran kampung terpencil seperti Chomrong. Ada gerai kopi ala Starbucks, bahkan ada juga bakery yang menjual makanan internasional seperti pie dan buger. Kenyamanan seperti ini memang bisa membuat orang kota betah berlama-lama tinggal di Chomrong.

Sore hari di desa Chomrong saya isi dengan kegiatan menonton pertandingan voli yang digelar penduduk setempat. Menariknya, ada banyak penduduk desa ini yang bisa Bahasa Indonesia. Mereka ini pernah bekerja di Malaysia atau Singapura, jadi tak heran kalau aksennya terdengar seperti orang Melayu. Ada satu orang yang berbicara sangat fasih, sampai saya mengira bahwa dia berasal dari Malaysia. Ini juga jadi kejutan karena saya sama sekali tak mengira bakal bertemu orang lokal di Nepal yang mampu bicara bahasa kita.

Pertandingan voli warga desa Chomrong
 Di Chomrong saya juga berkenalan dengan Danny, cowok asal Inggris yang mendaki ditemani pemandunya. Pada hari-hari berikutnya saya melanjutkan perjalanan bersama Danny karena kecepatan jalan kaki kita hampir sama. Beberapa orang yang saya temui di sepanjang jalur pendakian selalu punya ritme jalan yang berbeda. Mereka jalannya kadang terlalu cepat, sehingga saya kepayahan mengejar. Atau bisa juga sebaliknya, mereka yang terlalu lambat sementara saya lebih cepat. Serunya lagi, di Chomrong saya kembali bertemu dengan Ashit dan istrinya yang baru tiba setelah hari sudah gelap. Mereka juga menginap di guesthouse yang sama tempat saya tinggal. Jadilah acara makan malam di Chomrong malam itu makin asyik karena masing-masing bercerita tentang pendakian berat yang sudah dilewati hari itu.

Baca Juga: Seberapa Murah Biaya Backpacking ke Nepal?

Sayangnya, saya hanya bisa tinggal sehari di desa Chomrong karena harus kembali melanjutkan perjalanan. Medan pendakian berikutnya terasa lebih enteng, meski kadang masih menemui ratusan tangga batu yang curam. Panorama desa Chomrong terlihat lebih menawan dari Sinuwa yang berjarak sekitar dua jam berjalan kaki. Desa Chomrong berada di kaki gunung dengan pemandangan yang sangat menawan. Saya berhenti sejenak di Sinuwa untuk menikmati panorama yang langka ini. Setelah meninggalkan Sinuwa, jalur pendakian terasa agak angker karena harus melewati jalanan setapak yang dikelilingi hutan lebat. Namun pohon-pohon besar di sepanjang jalur pendakian itu menjadi kanopi yang melindungi para pendaki dari sengatan matahari.

Saya juga mulai terbiasa dengan beban ransel di pundak yang sebenarnya beratnya tak seberapa dibanding bawaan para porter lokal. Semua kebutuhan logistik di jalur pendakian ABC mengandalkan jasa porter ini. Jadi harus dimaklumi kalau harga makanan di sepanjang rute trek lebih mahal dari di kota. Bayangkan sendiri betapa beratnya pekerjaan para porter ini, namun hanya itu cara mereka mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita perlu benar-benar bersyukur karena diberi kehidupan yang lebih nyaman.

Setelah melewati Bambo yang berada di ketinggian 2610 meter, sinyal telepon selular benar-benar hilang. Sampai beberapa hari ke depan, para pendaki akan terputus dengan jaringan komunikasi modern itu. Tempat ini disebut Bambo karena kawasan sekelilingnya dipenuhi dengan tumbuhan bambu yang lebat. Bambo juga populer dijadikan tempat menginap karena fasilitas akomodasi di sini cukup baik. Tapi saya dan Danny memutuskan tetap lanjut karena waktu baru menunjukkan pukul satu siang, masih terlalu awal menghentikan pendakian di hari itu.

Para porter menjadi tulang punggung logistuk untuk pendaki
Kami sampai di pos perhentian berikutnya yang disebut Dovan sekitar pukul tiga sore, dan memutuskan menginap di tempat itu. Dibanding Bambo, desa Dovan jauh lebih kecil dengan pilihan tempat menginap yang terbatas pula. Namun karena tiba cukup awal, kami masih bisa memilih kamar yang dirasa paling baik. Pendaki yang tiba belakangan tak punya banyak pilihan, bahkan ada yang tak kebagian kamar sehingga pilih lanjut ke pos peristirahatan berikutnya yang menawarkan lebih banyak pilihan akomodasi. Untuk menghemat ongkos, saya dan Danny juga memutuskan berbagi kamar sehingga biaya akomodasi bisa dibagi dua.

Baca Juga: Jangan Lihat Upacara Kremasi di Nepal Kalau Lemah Hati

Desa Dovan yang terpencil dan seperti berada di tengah-tengah hutan ternyata mempunyai fasilitas yang cukup baik. Akomodasi kami punya kamar mandi dengan air panas, fasilitas yang sangat langka di tempat pendakian. Restorannya juga menyuguhkan menu sangat beragam, bahkan ada sandwich dan hamburger! Hampir tak bisa dipercaya, di tempat terpencil seperti itu di negara yang infrastrukturnya masih terbatas seperti Nepal, jalur pendakiannya punya fasilitas yang sangat istimewa. Meski berat di hari-hari pertama, jalur trekking ABC itu makin terasa seperti kegiatan piknik saja buat saya. Di Dovan saya juga dapat teman baru yang berasal dari Indonesia. Namanya Timothy, penghobi naik gunung asal Jakarta yang bekerja di sebuah LSM internasional. Sekarang kami sudah jadi geng kecil pendaki yang siap menaklukkan ABC!

Makan malam di pos pendakian Dovan
Hari ke-4 di pendakian ABC menjadi tahapan yang berbahaya. Pada fase ini pendaki akan mulai mencapai ketinggian di atas 3000 meter di mana gejala altitude sickness seringkali muncul. Ini adalah penyakit yang muncul akibat tipisnya lapisan udara di ketinggian. Gejalanya biasanya ditandai dengan pusing, muntah-muntah, serta kehilangan koordinasi tubuh. Buku-buku panduan trekking di Nepal selalu memberi peringatan serius tentang bahaya altitude sickness. Kalau salah penanganan, altitude sickness bisa menyebabkan kematian!

Semua pendaki perlu ekstra hati-hati begitu menginjakkan kaki di pos Deurali yang terletak di ketinggian 3100 meter. Kalau ada gejala-gejala altitude sickness seperti yang disebutkan tadi, pendaki tak boleh melanjutkan pendakian ke titik yang lebih tinggi. Kalau masih nekat, bisa-bisa nyawa melayang! Syukurlah, saya sama sekali tak merasakan keluhan yang jadi tanda-tanda altitude sickness tersebut. Hanya saja tarikan nafas menjadi lebih berat akibat tipisnya udara. Tubuh juga jadi gampang lelah, baru menanjak sedikit saja rasanya letih sekali. Tapi itu adalah gejala normal yang dirasakan semua pendaki. Solusinya adalah lebih sering beristirahat dan berjalan sesantai mungkin.

Baca Juga: Menjajal Rute Trekking Singkat di India

Perjalanan dari Deurali menuju Machapuchare Base Camp atau biasa disingkat MBC adalah salah satu etape pendakian yang paling berat. Selain ancaman altitude sickness tadi, jalur pendakian ini melewati jalanan berbatu yang rawan longsor. Itulah sebabnya, berjalan kaki sendirian di jalur ini sangat berbahaya. Kalau kebetulan kita trekking sendirian, lebih baik menunggu sampai ada rombongan lewat lalu mengikuti mereka dari belakang. Jadi kalau ada apa-apa, ada orang lain yang melihat kita.

Rute Deurali-MBC adalah jalur yang berbahaya, tapi pemandangan paling keren!
Meski sangat menguras tenaga karena medannya yang penuh tanjakan dan berbatu-batu, pemandangan dari Deurali menuju MBC bakal membuat pikiran kita melayang karena saking indahnya. Panoramanya berbeda sekali dengan jalur pendakian di bagian bawah yang didominasi hutan tropis yang serba hijau. Pada ketinggian di atas 3000 meter ini, lansekap alam didominasi oleh batu-batu dengan latar belakang barisan pegunungan Himalaya yang tertutup salju. Pemandangan yang begitu sureal, seolah kita sedang berada di planet lain. Dari semua rute yang sudah dilalui, saya bisa bilang kalau jalur dari Deurali menuju MBC ini pemandangannya paling keren.

Sekitar pukul dua siang, saya dan Danny berhasil mencapai MBC yang berada di ketinggian 3700 meter. Sementara Timothy masih tertinggal di belakang bersama pemandu Danny. Untuk mengurangi resiko altitude sickness, kami pilih menginap di MBC meski sebenarnya masih ada waktu untuk meneruskan pendakian ke titik yang lebih tinggi. Sebagai pendaki pemula yang belum pernah menjejakkan kaki di ketinggian lebih dari 3000 meter, kami memang harus berhati-hati. Tubuh harus diberi waktu cukup untuk menyesuaikan diri dengan tipisnya udara di ketinggian, juga supaya kami lebih siap untuk mencapai ABC esok paginya.

Yuk, Lanjut Baca ke Bagian Tiga....

Menaklukkan Rute Trekking ABC tanpa Pemandu (Bagian 2)

Hari kedua adalah bagian terberat dalam pendakian ABC. Setelah Kyumi, medan yang harus dihadapi adalah tangga-tangga batu curam yang seperti tak ada habis-habisnya. Mereka yang kurang fit secara fisik bakal KO di bagian ini. Khususnya jalur dari Jhinu Danda menuju desa Chomrong, benar-benar bakal menguras energi karena tangga batu yang harus dilalui seperti menara yang menjulang. Kondisi pendakian makin tak nyaman karena terik matahari yang begitu menyengat, membuat tubuh banjir peluh. Beruntung, meski agak kepayahan, akhirnya saya berhasil mencapai desa Chomrong pukul dua siang.

Yoon Jung dan pemandunya yang tertinggal di belakang berhasil mencapai Chomrong sekitar satu jam kemudian. Namun mereka tetap lanjut ke pos berikutnya karena jadwal yang sempit. Meski sebenarnya masih ada waktu untuk melanjutkan pendakian, saya memilih menginap di desa Chomrong karena tak mau terlalu memforsir energi. Jadwal saya cukup longgar, jadi mengapa tak dinikmati saja pendakian ini tanpa diburu waktu?

Baca Juga: Kiat Trekking di Nepal dengan Biaya Irit

Chomrong adalah desa terbesar di jalur pendakian ABC. Penginapan di sini juga banyak yang bagus-bagus, tak kalah dengan Pokhara. Meski atmosfernya masih kental suasana pedesaan di Nepal, ada beberapa fasilitas untuk turis yang bisa dibilang cukup mewah untuk ukuran kampung terpencil seperti Chomrong. Ada gerai kopi ala Starbucks, bahkan ada juga bakery yang menjual makanan internasional seperti pie dan buger. Kenyamanan seperti ini memang bisa membuat orang kota betah berlama-lama tinggal di Chomrong.

Sore hari di desa Chomrong saya isi dengan kegiatan menonton pertandingan voli yang digelar penduduk setempat. Menariknya, ada banyak penduduk desa ini yang bisa Bahasa Indonesia. Mereka ini pernah bekerja di Malaysia atau Singapura, jadi tak heran kalau aksennya terdengar seperti orang Melayu. Ada satu orang yang berbicara sangat fasih, sampai saya mengira bahwa dia berasal dari Malaysia. Ini juga jadi kejutan karena saya sama sekali tak mengira bakal bertemu orang lokal di Nepal yang mampu bicara bahasa kita.

Pertandingan voli warga desa Chomrong
 Di Chomrong saya juga berkenalan dengan Danny, cowok asal Inggris yang mendaki ditemani pemandunya. Pada hari-hari berikutnya saya melanjutkan perjalanan bersama Danny karena kecepatan jalan kaki kita hampir sama. Beberapa orang yang saya temui di sepanjang jalur pendakian selalu punya ritme jalan yang berbeda. Mereka jalannya kadang terlalu cepat, sehingga saya kepayahan mengejar. Atau bisa juga sebaliknya, mereka yang terlalu lambat sementara saya lebih cepat. Serunya lagi, di Chomrong saya kembali bertemu dengan Ashit dan istrinya yang baru tiba setelah hari sudah gelap. Mereka juga menginap di guesthouse yang sama tempat saya tinggal. Jadilah acara makan malam di Chomrong malam itu makin asyik karena masing-masing bercerita tentang pendakian berat yang sudah dilewati hari itu.

Baca Juga: Seberapa Murah Biaya Backpacking ke Nepal?

Sayangnya, saya hanya bisa tinggal sehari di desa Chomrong karena harus kembali melanjutkan perjalanan. Medan pendakian berikutnya terasa lebih enteng, meski kadang masih menemui ratusan tangga batu yang curam. Panorama desa Chomrong terlihat lebih menawan dari Sinuwa yang berjarak sekitar dua jam berjalan kaki. Desa Chomrong berada di kaki gunung dengan pemandangan yang sangat menawan. Saya berhenti sejenak di Sinuwa untuk menikmati panorama yang langka ini. Setelah meninggalkan Sinuwa, jalur pendakian terasa agak angker karena harus melewati jalanan setapak yang dikelilingi hutan lebat. Namun pohon-pohon besar di sepanjang jalur pendakian itu menjadi kanopi yang melindungi para pendaki dari sengatan matahari.

Saya juga mulai terbiasa dengan beban ransel di pundak yang sebenarnya beratnya tak seberapa dibanding bawaan para porter lokal. Semua kebutuhan logistik di jalur pendakian ABC mengandalkan jasa porter ini. Jadi harus dimaklumi kalau harga makanan di sepanjang rute trek lebih mahal dari di kota. Bayangkan sendiri betapa beratnya pekerjaan para porter ini, namun hanya itu cara mereka mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita perlu benar-benar bersyukur karena diberi kehidupan yang lebih nyaman.

Setelah melewati Bambo yang berada di ketinggian 2610 meter, sinyal telepon selular benar-benar hilang. Sampai beberapa hari ke depan, para pendaki akan terputus dengan jaringan komunikasi modern itu. Tempat ini disebut Bambo karena kawasan sekelilingnya dipenuhi dengan tumbuhan bambu yang lebat. Bambo juga populer dijadikan tempat menginap karena fasilitas akomodasi di sini cukup baik. Tapi saya dan Danny memutuskan tetap lanjut karena waktu baru menunjukkan pukul satu siang, masih terlalu awal menghentikan pendakian di hari itu.

Para porter menjadi tulang punggung logistuk untuk pendaki
Kami sampai di pos perhentian berikutnya yang disebut Dovan sekitar pukul tiga sore, dan memutuskan menginap di tempat itu. Dibanding Bambo, desa Dovan jauh lebih kecil dengan pilihan tempat menginap yang terbatas pula. Namun karena tiba cukup awal, kami masih bisa memilih kamar yang dirasa paling baik. Pendaki yang tiba belakangan tak punya banyak pilihan, bahkan ada yang tak kebagian kamar sehingga pilih lanjut ke pos peristirahatan berikutnya yang menawarkan lebih banyak pilihan akomodasi. Untuk menghemat ongkos, saya dan Danny juga memutuskan berbagi kamar sehingga biaya akomodasi bisa dibagi dua.

Baca Juga: Jangan Lihat Upacara Kremasi di Nepal Kalau Lemah Hati

Desa Dovan yang terpencil dan seperti berada di tengah-tengah hutan ternyata mempunyai fasilitas yang cukup baik. Akomodasi kami punya kamar mandi dengan air panas, fasilitas yang sangat langka di tempat pendakian. Restorannya juga menyuguhkan menu sangat beragam, bahkan ada sandwich dan hamburger! Hampir tak bisa dipercaya, di tempat terpencil seperti itu di negara yang infrastrukturnya masih terbatas seperti Nepal, jalur pendakiannya punya fasilitas yang sangat istimewa. Meski berat di hari-hari pertama, jalur trekking ABC itu makin terasa seperti kegiatan piknik saja buat saya. Di Dovan saya juga dapat teman baru yang berasal dari Indonesia. Namanya Timothy, penghobi naik gunung asal Jakarta yang bekerja di sebuah LSM internasional. Sekarang kami sudah jadi geng kecil pendaki yang siap menaklukkan ABC!

Makan malam di pos pendakian Dovan
Hari ke-4 di pendakian ABC menjadi tahapan yang berbahaya. Pada fase ini pendaki akan mulai mencapai ketinggian di atas 3000 meter di mana gejala altitude sickness seringkali muncul. Ini adalah penyakit yang muncul akibat tipisnya lapisan udara di ketinggian. Gejalanya biasanya ditandai dengan pusing, muntah-muntah, serta kehilangan koordinasi tubuh. Buku-buku panduan trekking di Nepal selalu memberi peringatan serius tentang bahaya altitude sickness. Kalau salah penanganan, altitude sickness bisa menyebabkan kematian!

Semua pendaki perlu ekstra hati-hati begitu menginjakkan kaki di pos Deurali yang terletak di ketinggian 3100 meter. Kalau ada gejala-gejala altitude sickness seperti yang disebutkan tadi, pendaki tak boleh melanjutkan pendakian ke titik yang lebih tinggi. Kalau masih nekat, bisa-bisa nyawa melayang! Syukurlah, saya sama sekali tak merasakan keluhan yang jadi tanda-tanda altitude sickness tersebut. Hanya saja tarikan nafas menjadi lebih berat akibat tipisnya udara. Tubuh juga jadi gampang lelah, baru menanjak sedikit saja rasanya letih sekali. Tapi itu adalah gejala normal yang dirasakan semua pendaki. Solusinya adalah lebih sering beristirahat dan berjalan sesantai mungkin.

Baca Juga: Menjajal Rute Trekking Singkat di India

Perjalanan dari Deurali menuju Machapuchare Base Camp atau biasa disingkat MBC adalah salah satu etape pendakian yang paling berat. Selain ancaman altitude sickness tadi, jalur pendakian ini melewati jalanan berbatu yang rawan longsor. Itulah sebabnya, berjalan kaki sendirian di jalur ini sangat berbahaya. Kalau kebetulan kita trekking sendirian, lebih baik menunggu sampai ada rombongan lewat lalu mengikuti mereka dari belakang. Jadi kalau ada apa-apa, ada orang lain yang melihat kita.

Rute Deurali-MBC adalah jalur yang berbahaya, tapi pemandangan paling keren!
Meski sangat menguras tenaga karena medannya yang penuh tanjakan dan berbatu-batu, pemandangan dari Deurali menuju MBC bakal membuat pikiran kita melayang karena saking indahnya. Panoramanya berbeda sekali dengan jalur pendakian di bagian bawah yang didominasi hutan tropis yang serba hijau. Pada ketinggian di atas 3000 meter ini, lansekap alam didominasi oleh batu-batu dengan latar belakang barisan pegunungan Himalaya yang tertutup salju. Pemandangan yang begitu sureal, seolah kita sedang berada di planet lain. Dari semua rute yang sudah dilalui, saya bisa bilang kalau jalur dari Deurali menuju MBC ini pemandangannya paling keren.

Sekitar pukul dua siang, saya dan Danny berhasil mencapai MBC yang berada di ketinggian 3700 meter. Sementara Timothy masih tertinggal di belakang bersama pemandu Danny. Untuk mengurangi resiko altitude sickness, kami pilih menginap di MBC meski sebenarnya masih ada waktu untuk meneruskan pendakian ke titik yang lebih tinggi. Sebagai pendaki pemula yang belum pernah menjejakkan kaki di ketinggian lebih dari 3000 meter, kami memang harus berhati-hati. Tubuh harus diberi waktu cukup untuk menyesuaikan diri dengan tipisnya udara di ketinggian, juga supaya kami lebih siap untuk mencapai ABC esok paginya.

Yuk, Lanjut Baca ke Bagian Tiga....

Tidak ada komentar

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...