Yoon Jung dan pemandunya yang tertinggal di belakang berhasil mencapai Chomrong sekitar satu jam kemudian. Namun mereka tetap lanjut ke pos berikutnya karena jadwal yang sempit. Meski sebenarnya masih ada waktu untuk melanjutkan pendakian, saya memilih menginap di desa Chomrong karena tak mau terlalu memforsir energi. Jadwal saya cukup longgar, jadi mengapa tak dinikmati saja pendakian ini tanpa diburu waktu?
Baca Juga: Kiat Trekking di Nepal dengan Biaya Irit
Chomrong adalah desa terbesar di jalur pendakian ABC. Penginapan di sini juga banyak yang bagus-bagus, tak kalah dengan Pokhara. Meski atmosfernya masih kental suasana pedesaan di Nepal, ada beberapa fasilitas untuk turis yang bisa dibilang cukup mewah untuk ukuran kampung terpencil seperti Chomrong. Ada gerai kopi ala Starbucks, bahkan ada juga bakery yang menjual makanan internasional seperti pie dan buger. Kenyamanan seperti ini memang bisa membuat orang kota betah berlama-lama tinggal di Chomrong.
Sore hari di desa Chomrong saya isi dengan kegiatan menonton pertandingan voli yang digelar penduduk setempat. Menariknya, ada banyak penduduk desa ini yang bisa Bahasa Indonesia. Mereka ini pernah bekerja di Malaysia atau Singapura, jadi tak heran kalau aksennya terdengar seperti orang Melayu. Ada satu orang yang berbicara sangat fasih, sampai saya mengira bahwa dia berasal dari Malaysia. Ini juga jadi kejutan karena saya sama sekali tak mengira bakal bertemu orang lokal di Nepal yang mampu bicara bahasa kita.
Pertandingan voli warga desa Chomrong |
Baca Juga: Seberapa Murah Biaya Backpacking ke Nepal?
Sayangnya, saya hanya bisa tinggal sehari di desa Chomrong karena harus kembali melanjutkan perjalanan. Medan pendakian berikutnya terasa lebih enteng, meski kadang masih menemui ratusan tangga batu yang curam. Panorama desa Chomrong terlihat lebih menawan dari Sinuwa yang berjarak sekitar dua jam berjalan kaki. Desa Chomrong berada di kaki gunung dengan pemandangan yang sangat menawan. Saya berhenti sejenak di Sinuwa untuk menikmati panorama yang langka ini. Setelah meninggalkan Sinuwa, jalur pendakian terasa agak angker karena harus melewati jalanan setapak yang dikelilingi hutan lebat. Namun pohon-pohon besar di sepanjang jalur pendakian itu menjadi kanopi yang melindungi para pendaki dari sengatan matahari.
Saya juga mulai terbiasa dengan beban ransel di pundak yang sebenarnya beratnya tak seberapa dibanding bawaan para porter lokal. Semua kebutuhan logistik di jalur pendakian ABC mengandalkan jasa porter ini. Jadi harus dimaklumi kalau harga makanan di sepanjang rute trek lebih mahal dari di kota. Bayangkan sendiri betapa beratnya pekerjaan para porter ini, namun hanya itu cara mereka mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita perlu benar-benar bersyukur karena diberi kehidupan yang lebih nyaman.
Setelah melewati Bambo yang berada di ketinggian 2610 meter, sinyal telepon selular benar-benar hilang. Sampai beberapa hari ke depan, para pendaki akan terputus dengan jaringan komunikasi modern itu. Tempat ini disebut Bambo karena kawasan sekelilingnya dipenuhi dengan tumbuhan bambu yang lebat. Bambo juga populer dijadikan tempat menginap karena fasilitas akomodasi di sini cukup baik. Tapi saya dan Danny memutuskan tetap lanjut karena waktu baru menunjukkan pukul satu siang, masih terlalu awal menghentikan pendakian di hari itu.
Para porter menjadi tulang punggung logistuk untuk pendaki |
Baca Juga: Jangan Lihat Upacara Kremasi di Nepal Kalau Lemah Hati
Desa Dovan yang terpencil dan seperti berada di tengah-tengah hutan ternyata mempunyai fasilitas yang cukup baik. Akomodasi kami punya kamar mandi dengan air panas, fasilitas yang sangat langka di tempat pendakian. Restorannya juga menyuguhkan menu sangat beragam, bahkan ada sandwich dan hamburger! Hampir tak bisa dipercaya, di tempat terpencil seperti itu di negara yang infrastrukturnya masih terbatas seperti Nepal, jalur pendakiannya punya fasilitas yang sangat istimewa. Meski berat di hari-hari pertama, jalur trekking ABC itu makin terasa seperti kegiatan piknik saja buat saya. Di Dovan saya juga dapat teman baru yang berasal dari Indonesia. Namanya Timothy, penghobi naik gunung asal Jakarta yang bekerja di sebuah LSM internasional. Sekarang kami sudah jadi geng kecil pendaki yang siap menaklukkan ABC!
Makan malam di pos pendakian Dovan |
Semua pendaki perlu ekstra hati-hati begitu menginjakkan kaki di pos Deurali yang terletak di ketinggian 3100 meter. Kalau ada gejala-gejala altitude sickness seperti yang disebutkan tadi, pendaki tak boleh melanjutkan pendakian ke titik yang lebih tinggi. Kalau masih nekat, bisa-bisa nyawa melayang! Syukurlah, saya sama sekali tak merasakan keluhan yang jadi tanda-tanda altitude sickness tersebut. Hanya saja tarikan nafas menjadi lebih berat akibat tipisnya udara. Tubuh juga jadi gampang lelah, baru menanjak sedikit saja rasanya letih sekali. Tapi itu adalah gejala normal yang dirasakan semua pendaki. Solusinya adalah lebih sering beristirahat dan berjalan sesantai mungkin.
Baca Juga: Menjajal Rute Trekking Singkat di India
Perjalanan dari Deurali menuju Machapuchare Base Camp atau biasa disingkat MBC adalah salah satu etape pendakian yang paling berat. Selain ancaman altitude sickness tadi, jalur pendakian ini melewati jalanan berbatu yang rawan longsor. Itulah sebabnya, berjalan kaki sendirian di jalur ini sangat berbahaya. Kalau kebetulan kita trekking sendirian, lebih baik menunggu sampai ada rombongan lewat lalu mengikuti mereka dari belakang. Jadi kalau ada apa-apa, ada orang lain yang melihat kita.
Rute Deurali-MBC adalah jalur yang berbahaya, tapi pemandangan paling keren! |
Sekitar pukul dua siang, saya dan Danny berhasil mencapai MBC yang berada di ketinggian 3700 meter. Sementara Timothy masih tertinggal di belakang bersama pemandu Danny. Untuk mengurangi resiko altitude sickness, kami pilih menginap di MBC meski sebenarnya masih ada waktu untuk meneruskan pendakian ke titik yang lebih tinggi. Sebagai pendaki pemula yang belum pernah menjejakkan kaki di ketinggian lebih dari 3000 meter, kami memang harus berhati-hati. Tubuh harus diberi waktu cukup untuk menyesuaikan diri dengan tipisnya udara di ketinggian, juga supaya kami lebih siap untuk mencapai ABC esok paginya.
Yuk, Lanjut Baca ke Bagian Tiga....
Tidak ada komentar
Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...