Beranda

    Social Items

Calon penumpang kereta di Cina selalu disarankan untuk membeli tiket jauh-jauh hari. Karena cuek dengan anjuran ini, saya akhirnya tidak kebagian tiket “sleeper train”atau gerbong dengan tempat tidur. Tiket yang tersisa hanya “hard seat”, yakni kelas paling murah mirip kereta ekonomi di Indonesia. Meski awalnya sempat kaget melihat antrean penumpang, pengalaman naik kereta murah ini jadi momen paling berkesan saat saya berada di negeri Tiongkok itu.

Masih kebagian tiket “hard seat” itu sebenarnya termasuk beruntung. Kalau belinya mendadak seperti yang saya lakukan, bisa-bisa cuma kebagian “standing ticket” alias tiket berdiri! Ya, di Cina masih dijual tiket berdiri. Bahkan untuk kereta cepat yang harganya sering hampir sama dengan ongkos pesawat juga dijual tiket berdiri. Tiket berdiri dijual kalau kursi sudah habis, dan harganya sama dengan tiket “hard seat”.

Mendapatkan tiket kereta api Cina itu sebenarnya sangat mudah, bahkan sudah bisa dibeli saat kita masih berada di Indonesia. Salah satu situs yang menyediakan penjualan tiket kereta ini adalah ctrip.com. Tapi saya urung membeli lewat ctrip.com karena ada komisi sebesar 30 yuan (sekitar Rp 60 ribu). Dasar pelancong irit (baca: pelit), saya pilih membeli nanti saja setiba di Cina. Kalau membeli di stasiun kereta, kita tidak terkena komisi bahkan harganya lebih murah 20 yuan dibanding yang dicantumkan di situs ctrip.

Stasiun kereta api Beijing


Tidak seperti yang banyak dikeluhkan orang, saya sama sekali tak mengalami kesulitan membeli tiket di stasiun kereta Beijing. Di depan loket terpampang jelas tanda tempat penjualan tiket dalam Bahasa Inggris. Petugasnya memang terbatas kemampuan Bahasa Inggrisnya, tapi bisa mengerti maksud kita yang mau membeli tiket. Supaya gampang, saya tunjukkan nomor kereta, jam dan tanggal keberangkatan dari situs ctrip dari layar ponsel. Petugasnya juga bisa menjelaskan kalau kelas yang ingin saya beli sudah habis, lalu menawarkan kelas lain yang masih tersedia.

Singkat cerita, tiket kereta “hard seat” menuju Pingyao akhirnya berada di tangan. Harganya 90 yuan (sekitar Rp 180 ribu) untuk perjalanan selama hampir 10 jam. Terus terang, awalnya sempat ragu membeli tiket kelas termurah itu, tapi saya tak punya pilihan lain. Banyak beredar cerita horor tentang kereta di Cina. Katanya penumpangnya berisik, jorok dan banyak copet. Memikirkan itu saya cuma bisa pasrah, berharap semuanya bakal baik-baik saya.

Saya sempat perlihatkan tiket kereta itu ke petugas hostel, maksudnya mau bertanya apakah orang asing tak masalah berada di gerbong “hard seat”. Kata dia tak masalah, bahkan bilang saya bisa pindah ke “sleeper train” asal mau membayar petugasnya. Hmm, apakah maksudnya menyogok petugas? Sepanjang perjalanan kereta memang sering berhenti, dan banyak penumpang yang turun. Jadi bisa saja ada tempat tidur yang kemudian kosong. Tapi bagaimana negosiasinya, saya kan tidak bisa Bahasa Mandarin?

Kepadatan stasiun Beijing, ada yang bawa karung :)
Pukul 9 malam, sekitar 2 jam sebelum kereta berangkat, saya naik subway menuju stasiun kereta Beijing. Begitu keluar dari subway, saya langsung lemas melihat antrean panjang untuk masuk ke stasiun kereta Beijing. Waduh, penderitaan ini baru permulaan, pikir saya. Untuk masuk ke stasiun saja perlu perjuangan, bagaimana nanti setelah berada di kereta?

Tapi ternyata, masuk ke stasiun kereta beijing tak membutuhkan waktu lama. Saya berhasil melewati antrean dalam waktu sekitar 15 menit saja. Orang lokal yang mengantre juga tertib, tak ada acara dorong-dorongan. Masuk stasiun kereta di Cina seperti mau masuk ke bandara. Penumpang diperiksa satu-satu menggunakan detektor dan barang bawaan juga harus melewati mesin scan. Itulah sebabnya ada antrean.

Sukses melewati antrean masuk, rasa kaget saya belum hilang. Astaga, stasiun Beijing ini luar biasa luasnya! Saya bingung, bagaimana cara menuju platform. Sudah begitu, tiap sudut stasiun dipenuhi orang, bahkan banyak yang ngemper di lantai karena tak kebagian kursi. Aduh, tambah stres jadinya.

Info keberangkatan kereta hanya dalam Bahasa Mandarin


Setelah berputar ke sana ke mari dan mencoba menginterpretasi papan pengumuman yang tertulis dalam Bahasa Mandarin, akhirnya saya masuk ke Waiting Room nomor 3. Dan benar saja, di ruangan itu tertulis nomor kereta saya. Berarti memang benar saya harus menunggu di ruangan itu.

Ruang tunggu stasiun kereta Beijing cukup nyaman. Ada banyak gerai makanan dan minimarket. Tersedia juga air panas gratis bagi yang mau bikin kopi dan mi instan. Toiletnya juga bersih saudara-saudara, tak kalah bersih dengan toilet bandara.


Ruang tunggu penumpang


Sekitar 40 menit sebelum kereta berangkat, pintu menuju platform kemudian dibuka. Penumpang harus berjejal menuju platform, tapi semua berjalan pelan-pelan dan tak ada yang dorong-dorongan, apalagi lari-lari menuju kereta. Wow, that was surprise! Kenyataan ini berbeda sekali dengan cerita yang pernah saya dengar. Saya pun mulai bisa rileks.

Sesampai di platform, ada banyak sekali petugas yang bersiaga, siap membantu penumpang menemukan gerbongnya. Tanpa kesulitan, saya pun bisa menemukan nomor kursi seperti yang tercantum di tiket. Di dalam gerbong baru ada beberapa penumpang, jadi saya termasuk tiba paling awal.

Gerbong "hard seat" dan penumpang yang tak kebagian tempat duduk
 Meski namanya kelas “hard seat”, jangan bayangkan gerbongnya diisi bangku kayu atau semacam itu. Kursinya malah empuk sekali dengan konfigurasi seperti kereta kelas ekonomi di Indonesia. Tiap baris ada 5 kursi dengan posisi berhadap-hadapan. Gerbongnya juga cukup bersih dan modern. Tapi namanya saja kelas ekonomi, kursinya sempit. Untungnya saya dapat tempat duduk di sisi lorong, jadi masih bisa selonjor kaki. Setiap gerbong juga dilengkapi dengan dispenser air panas untuk membuat kopi dan mi instan. Toiletnya juga wajar, meski tidak bersih-bersih amat, tapi tidak lebih jorok dari toilet kereta di Indonesia.

Kursi di sebelah saya diisi abang adik yang masih berusia remaja. Karena cuma satu orang yang kebagian kursi, sepanjang perjalanan mereka duduk bergantian. Abang adik ini terlihat akur sekali. Kalau yang satu sudah terlihat capek, yang satunya lagi segera menawarkan tempat duduk. Minumnya juga selalu dari botol yang sama. What a wonderful brotherhood!

Gerbong “hard seat” menawarkan tiket termurah, jadi tak heran kalau penumpangnya dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Mereka ini kebanyakan pekerja migran di Beijing yang mau pulang kampung. Penampilannya juga sederhana, bahkan banyak yang membawa karung dan kardus. Jarang sekali ada wisatawan asing naik gerbong “hard seat”ini, kecuali orang nekat seperti saya, ha ha….

Karena keterbatasan bahasa, saya tak banyak mengobrol dengan penumpang lain. Tapi ada satu penumpang yang cukup lancar berbahasa Inggris, duduknya tak jauh dari saya. Rupanya dia baru kembali dari liburan di Thailand dan mau pulang ke Taiyuan. Setelah mengobrol sebentar, saya lalu diberi rambutan, oleh-oleh dari Thailand, he he…

Esok paginya, sebelum dia turun di Taiyuan, pemuda ramah ini sempat berpesan pada penumpang lainnya supaya memberi tahu saya kalau kereta sudah sampai di Pingyao. Dia bilang saya bisa ikut si anu, sambil menunjuk seorang penumpang yang juga mau turun di Pingyao. Baik sekali, bukan? Begitulah, kalau komunikasi kita nyambung, orang Cina Daratan itu sebenarnya sangat baik dan ramah. Coba kalau saya bisa Bahasa Mandarin, pasti perjalanan ini bakal lebih seru.

Stasiun kereta api Pingyao yang sepi
Gerbong "hard sleeper", termpat tidurnya bersusun tiga
Dalam perjalanan dari Pingyao menuju Xian, saya kembali memilih kereta api. Tapi kali ini saya berhasil mendapat tiket “hard sleeper”, yakni gerbong dengan tempat tidur bertingkat tiga. Tiket “hard sleeper” ini paling cepat habis karena paling banyak dipilih penumpang. Harganya kompetitif, namun tempat tidurnya masih cukup nyaman. Paling laris kedua adalah “hard seat”, kemudian disusul kelas “soft sleeper” yang berharga paling mahal.

Stasiun kereta Pingyao tidak terlalu luas, dan penumpangnya juga sedikit. Pemandangannya sungguh berbeda dengan stasiun Beijing yang serba sesak. Stasiun Pingyao bukan titik pertama keberangkatan kereta, jadi saat saya naik hampir semua penumpang sudah tidur. Alhasil, saya hampir tak berinteraksi dengan penumpang lainnya. Jadi pengalaman paling seru memang perjalanan sebelumnya, saat duduk di kelas “hard seat” dari Beijing.

Naik kereta “hard seat” adalah salah satu momen paling berkesan selama perjalanan saya di Cina. Saya betul-betul berada di tengah orang lokal, melihat lelahnya penumpang yang berdiri semalaman karena tak kebagian kursi, serta merasakan spirit kehidupan warga kelas bawah negeri Tiongkok ini. Ekspresi wajah-wajah penumpang kereta masih terbayang jelas, lelahnya, senyumnya, sampai cara duduknya. Rasanya seperti sedang menonton sebuah film yang begitu realis.

Apa saya tidak kapok naik kereta ekonomi di Cina? Oh tidak, malah mau lagi!

Buat yang mau backpacking ke Cina tapi tidak bisa Bahasa Mandarin, coba simak beberapa tip dari saya di artikel Siapa Bilang Backpacking ke Cina Sulit?

Naik Kereta Ekonomi di Cina

Calon penumpang kereta di Cina selalu disarankan untuk membeli tiket jauh-jauh hari. Karena cuek dengan anjuran ini, saya akhirnya tidak kebagian tiket “sleeper train”atau gerbong dengan tempat tidur. Tiket yang tersisa hanya “hard seat”, yakni kelas paling murah mirip kereta ekonomi di Indonesia. Meski awalnya sempat kaget melihat antrean penumpang, pengalaman naik kereta murah ini jadi momen paling berkesan saat saya berada di negeri Tiongkok itu.

Masih kebagian tiket “hard seat” itu sebenarnya termasuk beruntung. Kalau belinya mendadak seperti yang saya lakukan, bisa-bisa cuma kebagian “standing ticket” alias tiket berdiri! Ya, di Cina masih dijual tiket berdiri. Bahkan untuk kereta cepat yang harganya sering hampir sama dengan ongkos pesawat juga dijual tiket berdiri. Tiket berdiri dijual kalau kursi sudah habis, dan harganya sama dengan tiket “hard seat”.

Mendapatkan tiket kereta api Cina itu sebenarnya sangat mudah, bahkan sudah bisa dibeli saat kita masih berada di Indonesia. Salah satu situs yang menyediakan penjualan tiket kereta ini adalah ctrip.com. Tapi saya urung membeli lewat ctrip.com karena ada komisi sebesar 30 yuan (sekitar Rp 60 ribu). Dasar pelancong irit (baca: pelit), saya pilih membeli nanti saja setiba di Cina. Kalau membeli di stasiun kereta, kita tidak terkena komisi bahkan harganya lebih murah 20 yuan dibanding yang dicantumkan di situs ctrip.

Stasiun kereta api Beijing


Tidak seperti yang banyak dikeluhkan orang, saya sama sekali tak mengalami kesulitan membeli tiket di stasiun kereta Beijing. Di depan loket terpampang jelas tanda tempat penjualan tiket dalam Bahasa Inggris. Petugasnya memang terbatas kemampuan Bahasa Inggrisnya, tapi bisa mengerti maksud kita yang mau membeli tiket. Supaya gampang, saya tunjukkan nomor kereta, jam dan tanggal keberangkatan dari situs ctrip dari layar ponsel. Petugasnya juga bisa menjelaskan kalau kelas yang ingin saya beli sudah habis, lalu menawarkan kelas lain yang masih tersedia.

Singkat cerita, tiket kereta “hard seat” menuju Pingyao akhirnya berada di tangan. Harganya 90 yuan (sekitar Rp 180 ribu) untuk perjalanan selama hampir 10 jam. Terus terang, awalnya sempat ragu membeli tiket kelas termurah itu, tapi saya tak punya pilihan lain. Banyak beredar cerita horor tentang kereta di Cina. Katanya penumpangnya berisik, jorok dan banyak copet. Memikirkan itu saya cuma bisa pasrah, berharap semuanya bakal baik-baik saya.

Saya sempat perlihatkan tiket kereta itu ke petugas hostel, maksudnya mau bertanya apakah orang asing tak masalah berada di gerbong “hard seat”. Kata dia tak masalah, bahkan bilang saya bisa pindah ke “sleeper train” asal mau membayar petugasnya. Hmm, apakah maksudnya menyogok petugas? Sepanjang perjalanan kereta memang sering berhenti, dan banyak penumpang yang turun. Jadi bisa saja ada tempat tidur yang kemudian kosong. Tapi bagaimana negosiasinya, saya kan tidak bisa Bahasa Mandarin?

Kepadatan stasiun Beijing, ada yang bawa karung :)
Pukul 9 malam, sekitar 2 jam sebelum kereta berangkat, saya naik subway menuju stasiun kereta Beijing. Begitu keluar dari subway, saya langsung lemas melihat antrean panjang untuk masuk ke stasiun kereta Beijing. Waduh, penderitaan ini baru permulaan, pikir saya. Untuk masuk ke stasiun saja perlu perjuangan, bagaimana nanti setelah berada di kereta?

Tapi ternyata, masuk ke stasiun kereta beijing tak membutuhkan waktu lama. Saya berhasil melewati antrean dalam waktu sekitar 15 menit saja. Orang lokal yang mengantre juga tertib, tak ada acara dorong-dorongan. Masuk stasiun kereta di Cina seperti mau masuk ke bandara. Penumpang diperiksa satu-satu menggunakan detektor dan barang bawaan juga harus melewati mesin scan. Itulah sebabnya ada antrean.

Sukses melewati antrean masuk, rasa kaget saya belum hilang. Astaga, stasiun Beijing ini luar biasa luasnya! Saya bingung, bagaimana cara menuju platform. Sudah begitu, tiap sudut stasiun dipenuhi orang, bahkan banyak yang ngemper di lantai karena tak kebagian kursi. Aduh, tambah stres jadinya.

Info keberangkatan kereta hanya dalam Bahasa Mandarin


Setelah berputar ke sana ke mari dan mencoba menginterpretasi papan pengumuman yang tertulis dalam Bahasa Mandarin, akhirnya saya masuk ke Waiting Room nomor 3. Dan benar saja, di ruangan itu tertulis nomor kereta saya. Berarti memang benar saya harus menunggu di ruangan itu.

Ruang tunggu stasiun kereta Beijing cukup nyaman. Ada banyak gerai makanan dan minimarket. Tersedia juga air panas gratis bagi yang mau bikin kopi dan mi instan. Toiletnya juga bersih saudara-saudara, tak kalah bersih dengan toilet bandara.


Ruang tunggu penumpang


Sekitar 40 menit sebelum kereta berangkat, pintu menuju platform kemudian dibuka. Penumpang harus berjejal menuju platform, tapi semua berjalan pelan-pelan dan tak ada yang dorong-dorongan, apalagi lari-lari menuju kereta. Wow, that was surprise! Kenyataan ini berbeda sekali dengan cerita yang pernah saya dengar. Saya pun mulai bisa rileks.

Sesampai di platform, ada banyak sekali petugas yang bersiaga, siap membantu penumpang menemukan gerbongnya. Tanpa kesulitan, saya pun bisa menemukan nomor kursi seperti yang tercantum di tiket. Di dalam gerbong baru ada beberapa penumpang, jadi saya termasuk tiba paling awal.

Gerbong "hard seat" dan penumpang yang tak kebagian tempat duduk
 Meski namanya kelas “hard seat”, jangan bayangkan gerbongnya diisi bangku kayu atau semacam itu. Kursinya malah empuk sekali dengan konfigurasi seperti kereta kelas ekonomi di Indonesia. Tiap baris ada 5 kursi dengan posisi berhadap-hadapan. Gerbongnya juga cukup bersih dan modern. Tapi namanya saja kelas ekonomi, kursinya sempit. Untungnya saya dapat tempat duduk di sisi lorong, jadi masih bisa selonjor kaki. Setiap gerbong juga dilengkapi dengan dispenser air panas untuk membuat kopi dan mi instan. Toiletnya juga wajar, meski tidak bersih-bersih amat, tapi tidak lebih jorok dari toilet kereta di Indonesia.

Kursi di sebelah saya diisi abang adik yang masih berusia remaja. Karena cuma satu orang yang kebagian kursi, sepanjang perjalanan mereka duduk bergantian. Abang adik ini terlihat akur sekali. Kalau yang satu sudah terlihat capek, yang satunya lagi segera menawarkan tempat duduk. Minumnya juga selalu dari botol yang sama. What a wonderful brotherhood!

Gerbong “hard seat” menawarkan tiket termurah, jadi tak heran kalau penumpangnya dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Mereka ini kebanyakan pekerja migran di Beijing yang mau pulang kampung. Penampilannya juga sederhana, bahkan banyak yang membawa karung dan kardus. Jarang sekali ada wisatawan asing naik gerbong “hard seat”ini, kecuali orang nekat seperti saya, ha ha….

Karena keterbatasan bahasa, saya tak banyak mengobrol dengan penumpang lain. Tapi ada satu penumpang yang cukup lancar berbahasa Inggris, duduknya tak jauh dari saya. Rupanya dia baru kembali dari liburan di Thailand dan mau pulang ke Taiyuan. Setelah mengobrol sebentar, saya lalu diberi rambutan, oleh-oleh dari Thailand, he he…

Esok paginya, sebelum dia turun di Taiyuan, pemuda ramah ini sempat berpesan pada penumpang lainnya supaya memberi tahu saya kalau kereta sudah sampai di Pingyao. Dia bilang saya bisa ikut si anu, sambil menunjuk seorang penumpang yang juga mau turun di Pingyao. Baik sekali, bukan? Begitulah, kalau komunikasi kita nyambung, orang Cina Daratan itu sebenarnya sangat baik dan ramah. Coba kalau saya bisa Bahasa Mandarin, pasti perjalanan ini bakal lebih seru.

Stasiun kereta api Pingyao yang sepi
Gerbong "hard sleeper", termpat tidurnya bersusun tiga
Dalam perjalanan dari Pingyao menuju Xian, saya kembali memilih kereta api. Tapi kali ini saya berhasil mendapat tiket “hard sleeper”, yakni gerbong dengan tempat tidur bertingkat tiga. Tiket “hard sleeper” ini paling cepat habis karena paling banyak dipilih penumpang. Harganya kompetitif, namun tempat tidurnya masih cukup nyaman. Paling laris kedua adalah “hard seat”, kemudian disusul kelas “soft sleeper” yang berharga paling mahal.

Stasiun kereta Pingyao tidak terlalu luas, dan penumpangnya juga sedikit. Pemandangannya sungguh berbeda dengan stasiun Beijing yang serba sesak. Stasiun Pingyao bukan titik pertama keberangkatan kereta, jadi saat saya naik hampir semua penumpang sudah tidur. Alhasil, saya hampir tak berinteraksi dengan penumpang lainnya. Jadi pengalaman paling seru memang perjalanan sebelumnya, saat duduk di kelas “hard seat” dari Beijing.

Naik kereta “hard seat” adalah salah satu momen paling berkesan selama perjalanan saya di Cina. Saya betul-betul berada di tengah orang lokal, melihat lelahnya penumpang yang berdiri semalaman karena tak kebagian kursi, serta merasakan spirit kehidupan warga kelas bawah negeri Tiongkok ini. Ekspresi wajah-wajah penumpang kereta masih terbayang jelas, lelahnya, senyumnya, sampai cara duduknya. Rasanya seperti sedang menonton sebuah film yang begitu realis.

Apa saya tidak kapok naik kereta ekonomi di Cina? Oh tidak, malah mau lagi!

Buat yang mau backpacking ke Cina tapi tidak bisa Bahasa Mandarin, coba simak beberapa tip dari saya di artikel Siapa Bilang Backpacking ke Cina Sulit?

6 komentar:

  1. sangat menarik pengalamannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, jadi pengalamannya tak terlukapan. Terima kasih sudah mampir. 🙏

      Hapus
  2. Cerita yang menarik

    BalasHapus
  3. Memang asyik kog...saya juga pernah dapat hard seat dari chengdu ke congqing, hard sleeper beijing shanghai. Seru aja liat umat segitu banyaknya di stasiun ka bukan di hari libur nasional, apalagi saat liburan ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, stasiun kereta di Cina selalu penuh orang. Enggak kebayang bagaimana suasanya kalau perayaan tahun baru.😊

      Hapus

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...