Beranda

    Social Items

Sejak era 1940-an, Sangkhlaburi sudah dibanjiri pengungsi dan pelarian politik asal Myanmar. Inilah yang menjadikan kota kecil di bagian barat laut Thailand tersebut punya atmosfer yang unik. Bak Burma mini di Thailand, Sangkhlaburi jadi contoh menarik bagaimana kelompok pendatang bisa hidup berdampingan dengan warga asli. Tetapi, keunikan ini tidak membuat Sangkhlaburi jadi kebanjiran turis seperti tempat-tempat lain di Thailand.

Dari Bangkok, perjalanan menuju Sangkhlaburi setidaknya memakan waktu sehari penuh. Selain memakan waktu yang panjang, tidak ada rute bus langsung dari Bangkok. Angkutan yang tersedia hanya bus lokal yang sangat minim petunjuknya dalam bahasa Inggris. Perjalanan dimulai dengan menumpang bus atau sharing minivan tujuan Kanchanaburi selama 2-3 jam. Nah, dari terminal bus Kanchanaburi, perjalanan diteruskan lagi dengan menumpang bus lokal selama 4-5 jam.

Ini benar-benar perjalanan ala orang lokal. Rute bus Bangkok-Kanchanaburi memang ada banyak pilihannya. Namun untuk perjalanan Kanchanaburi-Sangkhlaburi bus hanya berangkat beberapa kali dalam sehari. Itupun hanya bus biasa tanpa AC, kondisinya mirip mikrolet. Karena melewati daerah perbatasan, pengamannya juga cukup ketat. Beberapa kali bus dihentikan oleh tentara untuk pemeriksaan identitas. Barang bawaan kita juga digeledah dengan teliti, dan prosedur itu dilakukan di setiap pos tentara. Bahkan di sebuah perhentian, anjing pelacak juga dibawa masuk ke dalam bus.

Baca Juga: Kuil Putih, Mahakarya Si Seniman Eksentrik


Turis regular mungkin enggan mengalami hal-hal seperti ini. Tak heran kalau orang-orang tertentu saja yang mengunjungi Sangkhlaburi. Sisi baiknya, Sangkhlaburi menjadi sepi turis. Jadi tempat paling pas untuk merasakan Thailand yang otentik, jauh dari keramaian turis asing.

Meski awalnya dibuat deg-degan oleh pemeriksaan yang ketat, saya akhirnya bisa santai dan menikmati perjalanan darat menyusuri pelosok Thailand itu. Pemandangannya juga sangat mempesona, melewati hutan lindung yang lebat dan terjaga baik. Harus juga diakui, pembangunan infrastruktur di Thailand sangat merata. Meskipun di kawasan pelosok, jalan rayanya sangat mulus.

Panorama semakin keren saat bus melewati Waduk Khao Laem, atau sekarang disebut Danau Vajiralongkorn. Nah, kota kecil Sangkhlaburi terletak di pinggiran danau itu. Tak lama kemudian, bus yang saya tumpangi tiba di terminal Sangkhlaburi.

Sangkhlaburi hanya berpenduduk sekitar 15 ribu jiwa. Sangkhlaburi terbelah oleh inlet atau danau yang dihubungkan dengan jembatan kayu yang katanya terpanjang di dunia. Area di utara inlet adalah bagian pusat kota yang memiliki terminal bus, pasar, serta berbagai fasilitas publik lainnya. Bagian selatan Inlet suasananya masih seperti kampung dan di sinilah pemukiman pengungsi dari Myanmar.

Kira-kira separuh populasi Sangkhlaburi adalah kaum pelarian dari Myanmar. Mereka berasal dari etnik Mon dan kaum minoritas Muslim Myanmar. Jumlah penganut Islam ini tak begitu besar, tapi mereka memiliki sebuah masjid serta beberapa kedai makanan halal. Bahasa Myanmar juga lazim digunakan sehari-hari, membuat suasana Sangkhlaburi terasa berbeda dengan kawasan lainnya di Thailand. Juga kebiasaan-kebiasaan yang sering ditemui di Myanmar seperti memakai sarung dan tanaka (bedak tepung yang dipakai di wajah) juga jadi pemandangan lazim. Pendek kata, kota kecil ini seperti Thailand dengan suasana Myanmar.

Bagi yang ingin menyepi untuk menyesap kedamaian di pedalaman Thailand, tinggal berminggu-minggu di sini tak akan membuat bosan. Namun bagi yang punya waktu liburan singkat, masa 1-2 hari pun sudah cukup untuk menjelajahinya.

Baca Juga: Kathmandu yang Kusut-masai, tapi Eksotis


Objek wisata paling menarik tentu saja jembatan kayu yang kesohor itu. Wisatawan lazim menyebutnya sebagai Bridge to the Mon Village. Jembatan ini memiliki panjang 442 meter, dibangun untuk menghubungkan perkampungan suku Mon dari Myanmar yang berada di sisi selatan dengan sisi utara yang dihuni warga Thai. Saat musim hujan, air danau bisa merendam permukaan jembatan ini. Karena luapan air danau pula, pada 2013 jembatan ini sempat rusak parah. Tapi kini sudah berfungsi kembali.

Setelah melewati jembatan kayu, Anda resmi berada di teritori khusus yang jadi tempat pengungsian etnis Mon dari Myanmar. Karena sudah cukup lama tinggal di Sangkhlaburi, warga etnis Mon membangun rumah-rumah permanen, tak lagi tinggal di tenda-tenda seperti lazimnya tempat pengungsian. Sektor pariwisata sangat membantu ekonomi mereka, banyak yang membuka usaha rumah makan, kafe dan kios-kios cenderamata.

Sangkhlaburi juga memiliki beberapa kuil Buddha bergaya Thai dan Burma. Kuil paling besar disebut Wat Wiwekaram. Selain untuk beribadat, kuil ini juga digunakan untuk tempat belajar anak-anak pengungsi etnis Mon. Tak jauh dari Wat Wang Wiwekaram, ada satu kompleks kuil Buddha lainnya yang dibangun dengan gaya pagoda, mirip kuil-kuil di Myanmar. Kuil ini disebut Buddhakaya Chedi, bangunannya tinggi menjulang berwarna emas.Pengunjung bisa naik ke bagian atas pagoda untuk menikmati panorama Danau Khao Laem lebih jelas.

Warga keturunan Burma selalu berpakaian putih saat berkunjung ke kuil
Buddhakaya Chedi
Pos perbatasan Thai-Myanmar
Bagi yang tertarik menjenguk perbatasan Thailand-Myanmar, anda bisa naik angkutan lokal semacam angkot menuju Three Pagoda Pass. Ini adalah salah satu pos perbatasan Thailand-Burma yang paling besar selain Tachillek di Chiang Rai. Di akhir pekan, banyak warga Thailand mengunjungi pos perbatasan ini untuk membeli batu giok. Namun hanya warganegara Thailand yang diizinkan melewati pos perbatasan ini. Warga asing lainnya perlu visa dan biasanya hanya diizinkan masuk lewat jalur udara.

Baca Juga: Festival Vegetarian ala Thailand


Sangkhlaburi, Sisi Lain Thailand yang Lengang Turis

Sejak era 1940-an, Sangkhlaburi sudah dibanjiri pengungsi dan pelarian politik asal Myanmar. Inilah yang menjadikan kota kecil di bagian barat laut Thailand tersebut punya atmosfer yang unik. Bak Burma mini di Thailand, Sangkhlaburi jadi contoh menarik bagaimana kelompok pendatang bisa hidup berdampingan dengan warga asli. Tetapi, keunikan ini tidak membuat Sangkhlaburi jadi kebanjiran turis seperti tempat-tempat lain di Thailand.

Dari Bangkok, perjalanan menuju Sangkhlaburi setidaknya memakan waktu sehari penuh. Selain memakan waktu yang panjang, tidak ada rute bus langsung dari Bangkok. Angkutan yang tersedia hanya bus lokal yang sangat minim petunjuknya dalam bahasa Inggris. Perjalanan dimulai dengan menumpang bus atau sharing minivan tujuan Kanchanaburi selama 2-3 jam. Nah, dari terminal bus Kanchanaburi, perjalanan diteruskan lagi dengan menumpang bus lokal selama 4-5 jam.

Ini benar-benar perjalanan ala orang lokal. Rute bus Bangkok-Kanchanaburi memang ada banyak pilihannya. Namun untuk perjalanan Kanchanaburi-Sangkhlaburi bus hanya berangkat beberapa kali dalam sehari. Itupun hanya bus biasa tanpa AC, kondisinya mirip mikrolet. Karena melewati daerah perbatasan, pengamannya juga cukup ketat. Beberapa kali bus dihentikan oleh tentara untuk pemeriksaan identitas. Barang bawaan kita juga digeledah dengan teliti, dan prosedur itu dilakukan di setiap pos tentara. Bahkan di sebuah perhentian, anjing pelacak juga dibawa masuk ke dalam bus.

Baca Juga: Kuil Putih, Mahakarya Si Seniman Eksentrik


Turis regular mungkin enggan mengalami hal-hal seperti ini. Tak heran kalau orang-orang tertentu saja yang mengunjungi Sangkhlaburi. Sisi baiknya, Sangkhlaburi menjadi sepi turis. Jadi tempat paling pas untuk merasakan Thailand yang otentik, jauh dari keramaian turis asing.

Meski awalnya dibuat deg-degan oleh pemeriksaan yang ketat, saya akhirnya bisa santai dan menikmati perjalanan darat menyusuri pelosok Thailand itu. Pemandangannya juga sangat mempesona, melewati hutan lindung yang lebat dan terjaga baik. Harus juga diakui, pembangunan infrastruktur di Thailand sangat merata. Meskipun di kawasan pelosok, jalan rayanya sangat mulus.

Panorama semakin keren saat bus melewati Waduk Khao Laem, atau sekarang disebut Danau Vajiralongkorn. Nah, kota kecil Sangkhlaburi terletak di pinggiran danau itu. Tak lama kemudian, bus yang saya tumpangi tiba di terminal Sangkhlaburi.

Sangkhlaburi hanya berpenduduk sekitar 15 ribu jiwa. Sangkhlaburi terbelah oleh inlet atau danau yang dihubungkan dengan jembatan kayu yang katanya terpanjang di dunia. Area di utara inlet adalah bagian pusat kota yang memiliki terminal bus, pasar, serta berbagai fasilitas publik lainnya. Bagian selatan Inlet suasananya masih seperti kampung dan di sinilah pemukiman pengungsi dari Myanmar.

Kira-kira separuh populasi Sangkhlaburi adalah kaum pelarian dari Myanmar. Mereka berasal dari etnik Mon dan kaum minoritas Muslim Myanmar. Jumlah penganut Islam ini tak begitu besar, tapi mereka memiliki sebuah masjid serta beberapa kedai makanan halal. Bahasa Myanmar juga lazim digunakan sehari-hari, membuat suasana Sangkhlaburi terasa berbeda dengan kawasan lainnya di Thailand. Juga kebiasaan-kebiasaan yang sering ditemui di Myanmar seperti memakai sarung dan tanaka (bedak tepung yang dipakai di wajah) juga jadi pemandangan lazim. Pendek kata, kota kecil ini seperti Thailand dengan suasana Myanmar.

Bagi yang ingin menyepi untuk menyesap kedamaian di pedalaman Thailand, tinggal berminggu-minggu di sini tak akan membuat bosan. Namun bagi yang punya waktu liburan singkat, masa 1-2 hari pun sudah cukup untuk menjelajahinya.

Baca Juga: Kathmandu yang Kusut-masai, tapi Eksotis


Objek wisata paling menarik tentu saja jembatan kayu yang kesohor itu. Wisatawan lazim menyebutnya sebagai Bridge to the Mon Village. Jembatan ini memiliki panjang 442 meter, dibangun untuk menghubungkan perkampungan suku Mon dari Myanmar yang berada di sisi selatan dengan sisi utara yang dihuni warga Thai. Saat musim hujan, air danau bisa merendam permukaan jembatan ini. Karena luapan air danau pula, pada 2013 jembatan ini sempat rusak parah. Tapi kini sudah berfungsi kembali.

Setelah melewati jembatan kayu, Anda resmi berada di teritori khusus yang jadi tempat pengungsian etnis Mon dari Myanmar. Karena sudah cukup lama tinggal di Sangkhlaburi, warga etnis Mon membangun rumah-rumah permanen, tak lagi tinggal di tenda-tenda seperti lazimnya tempat pengungsian. Sektor pariwisata sangat membantu ekonomi mereka, banyak yang membuka usaha rumah makan, kafe dan kios-kios cenderamata.

Sangkhlaburi juga memiliki beberapa kuil Buddha bergaya Thai dan Burma. Kuil paling besar disebut Wat Wiwekaram. Selain untuk beribadat, kuil ini juga digunakan untuk tempat belajar anak-anak pengungsi etnis Mon. Tak jauh dari Wat Wang Wiwekaram, ada satu kompleks kuil Buddha lainnya yang dibangun dengan gaya pagoda, mirip kuil-kuil di Myanmar. Kuil ini disebut Buddhakaya Chedi, bangunannya tinggi menjulang berwarna emas.Pengunjung bisa naik ke bagian atas pagoda untuk menikmati panorama Danau Khao Laem lebih jelas.

Warga keturunan Burma selalu berpakaian putih saat berkunjung ke kuil
Buddhakaya Chedi
Pos perbatasan Thai-Myanmar
Bagi yang tertarik menjenguk perbatasan Thailand-Myanmar, anda bisa naik angkutan lokal semacam angkot menuju Three Pagoda Pass. Ini adalah salah satu pos perbatasan Thailand-Burma yang paling besar selain Tachillek di Chiang Rai. Di akhir pekan, banyak warga Thailand mengunjungi pos perbatasan ini untuk membeli batu giok. Namun hanya warganegara Thailand yang diizinkan melewati pos perbatasan ini. Warga asing lainnya perlu visa dan biasanya hanya diizinkan masuk lewat jalur udara.

Baca Juga: Festival Vegetarian ala Thailand


Tidak ada komentar

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...