Beranda

    Social Items

Kathmandu adalah kampung raksasa yang sesak dan semrawut. Meski begitu, ada sisi lain yang membuat ibukota Nepal ini punya pesona tersendiri. Hanya saja, Anda perlu sedikit merubah cara pandang untuk menikmatinya.

“Hello, are you Malaysian?” sapa seorang pedagang jeruk yang mangkal di depan hotel tempat saya menginap. Tentu saja saya langsung menggeleng. “I am Indonesia,” jawab saya sambil berusaha tersenyum ramah. Karena tiap hari selalu mangkal di depan hotel itu, dia juga tahu persis kalau saya sudah menginap selama tiga hari di sana. Uniknya lagi, si pedagang jeruk yang berjualan dengan sepeda ini sama-sekali tak menawarkan dagangannya. Rupanya, dia hanya ingin mengobrol karena penasaran dari mana saya berasal.

Baca juga: Jangan Lihat Upacara Kremasi di Nepal Kalau Lemah Hati

Begitulah sedikit fragmen yang saya alami tentang betapa bersahabatnya penduduk Kathmandu. Namun, polusi udara yang akut serta kemiskinan yang menyolok bakal membuat turis mainstream menghindari kota ini. Kendati pun begitu, saya yang masuk ke Nepal melalui perjalanan darat dari India, mendadak merasa lega setelah tiba di Kathmandu. Dibanding kota-kota besar di India, Kathmandu ternyata lebih bersih dan tenang. Kemiskinan yang ekstrem memang mudah terlihat, ada banyak pengemis di tempat-tempat wisata. Tetapi, atmosfer yang dihadirkannya tetap saja santai dan bersahabat.


Legenda Lembah yang Terbelah

Kathmandu terletak di suatu lembah pada dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan. Lembah ini disebut Lembah Kathmandu, lalu nama tersebut dipakai sebagai nama kota Kathmandu. Legenda mengatakan, kawasan lembah ini dahulu adalah danau yang dipenuhi bunga teratai. Sampai suatu ketika, seorang pertapa dari Tibet bernama Manjushri membelah tepian lembah itu dengan pedangnya. Air danau serta-merta menjadi kering, lalu terbentuklah dataran lembah subur seperti sekarang.

Meski cerita tentang Manjushri itu hanyalah legenda, para arkeolog menyimpulkan bahwa kawasan Lembah Kathmandu dahulu benar-benar berupa danau. Tetapi keringnya air danau tidak terjadi seketika seperti dalam cerita dongeng, namun proses sangat lama yang disebabkan pergerakan muka bumi. Danau di Lembah Kathmandu sendiri terbentuk lebih dari sejuta tahun lampau dengan kedalaman diperkirakan mencapai 200 meter.

Baca Juga: Ini Rute Treking di Nepal versi Saya

Berakhirnya zaman es sekitar 30 ribu tahun lalu membuat kawasan Himalaya menjadi kering, dan air danau di lembah Kathmandu berlahan-lahan menyusut. Lembah Kathmandu berubah menjadi daratan sekitar 18 ribu tahun lalu. Tanahnya yang subur menarik pemukim untuk mengembangkan peradaban baru di sini. Apalagi letaknya juga sangat strategis, berada di jalur sutera yang kala itu jadi urat nadi perdagangan dunia. Tempat ini kemudian berkembang pesat dan melahirkan peradaban Lembah Kathmandu.

Lembah Kathmandu diperkirakan mulai dihuni manusia sejak 300 tahun sebelum Masehi. Para penghuni kawasan ini disebut Newari. Merekalah yang membangun peradaban tinggi di Lembah Kathmandu dengan mengembangkan karya arstitektur, seni patung, tarian, kuliner, dan lainnya. Cemerlangnya peradaban Lembah Kathmandu dibuktikan dengan banyaknya situs-situs tua bernilai tinggi yang mereka tinggalkan. Di kawasan ini terserak ratusan artefak bersejarah penting, dan tujuh diantaranya sudah masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO.

Panorama lembah Kathmandu


Sinkretisme Hindu dan Buddha

Pagi-pagi sekali, saya bersama Masaki, kenalan dari Jepang yang saya temui di Thamel, siap berangkat untuk menjelajah tempat-tempat bersejarah di Kathmandu yang masuk daftar Situs Warisan Dunia UNESCO. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kuil Swayambunath, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Thamel, tempat kami menginap. Kami pilih berjalan kaki karena ingin melihat lebih dekat kehidupan di Kathmandu. We wanna feel the real Kathmandu!

Namun, perjalanan yang tak begitu jauh itu terasa sangat lama karena Kathmandu sungguh tak bersahabat dengan pejalan kaki. Selain debu jalanan yang sangat pekat, trotoar juga tak nyaman dilewati. Bahkan di kawasan kota tua seperti Thamel dan Paknajol, tak ada trotoar sama sekali. Pejalan kaki harus berbagi dengan becak, taksi dan sepeda motor di jalanan yang sangat sempit. Kalau tak hati-hati, kaki bisa saja dilindas roda becak atau sepeda motor.

Dengan bantuan Google Maps, kami tak kesulitan menemukan lokasi Kuil Swayambunath. Kuil ini terletak di atas bukit dengan memiliki pemandangan elok. Sekitar 500 meter sebelum mencapai lokasi, pemandangan kota Kathmandu dari bukit ini sudah bisa dinikmati pengunjung. Dari sini, bisa terlihat posisi kota Kathmandu yang berada di tengah lembah dan dikelilingi pegunungan. Namun, kalau kita sudah menjejakkan kaki di Kuil Swayambunath yang berada di puncak bukit, pemandangannya akan lebih menarik lagi.

Untuk mencapai Kuil Swayambunath, pengunjung harus mendaki 365 anak tangga yang lumayan curam. Terus terang, saya tak sempat menghitung apakah jumlah anak tangganya benar-benar berjumlah demikian. Ada yang bilang anak tangganya hanya berjumlah 180 saja. Namun yang jelas, saya dan Masaki dibikin ngos-ngosan dulu sebelum berhasil mencapai Kuil Swayambunath yang berada di puncak bukit. Di tangga menuju kuil, ada banyak monyet-monyet yang tingkahnya cukup agresif. Sebaiknya Anda tak membawa makanan kalau tak ingin diganggu monyet-monyet liar ini.

Melihat bentuknya yang berupa stupa, Swayambunath akan mengingatkan kita  pada kuil Buddha. Tetapi kuil ini ternyata juga dipakai oleh umat Hindu untuk beribadat. Di sekitar stupa Swayambunath yang berwarna putih itu, terdapat kuil Hindu dengan simbol-simbol mitologinya yang berdampingan dengan figur Buddha. Sebagian warga Nepal memang menganut paham sinkretisme, jadi mereka mempraktikkan kepercayaan Hindu dan Buddha sekaligus.

Begitu menginjakkan kaki di area Kuil Swayambunath, pengunjung biasanya langsung mengitari pagoda searah jarum jam sambil memutar cakra doa, juga searah jarum jam. Ritual ini disertai dengan pengucapan mantra Om Mani Padme Hum yang menyimbolkan manusia, alam, dan Tuhan. Dalam kepercayaan Buddha, mengitari stupa juga melambangkan reinkarnasi atau siklus kehidupan, dari lahir, mati, lalu mencapai nirwana.

Peziaran memutar cakra doa


Kusut-masai yang Eksotis

Setelah mengunjungi Kuil Swayambunath, kami kembali berjalan kaki menuju pusat kota untuk melihat Kathmandu Durbar Square. Makin ke pusat kota, suasananya makin terasa padat saja. Seperti kawasan kota tua lainnya di ibukota Nepal, Kathmandu Durbar Square terlihat begitu semrawut. Jalanannya yang sempit tak hanya ramai dilalui pejalan kaki, tapi juga dilintasi becak dan mobil. Tapi penduduk Kathmandu terlihat kalem saja menghadapi situasi ini.

Kami beberapa kali berhenti untuk mengambil foto, memotret panorama kota tua Kathmandu yang sangat fotogenik. Pemandangan yang disuguhkan Kathmandu sudah jarang kita temui di kota lainnya di Asia yang makin modern. Di berbagai sudut jalan, kita bisa melihat kuil-kuil yang ramai dipadati peziarah. Bangunan-bangunan tua yang nampak tak terurus justru menambah kesan eksotis.

Setelah beberapa kali kehilangan arah, akhirnya kami menemukan lokasi Kathmandu Durbar Square. Tanpa bantuan Google Maps, saya yakin kami tak akan pernah menemukan tempat itu. Jalanan di bagian kota tua Kathmandu selain sempit, juga rumit dan berkelok-kelok. Kota ini seperti kampung raksasa yang tumbuh sendiri tanpa perencanaan. Kabel-kabel listrik menggelantung tak beraturan, bikin pemandangan bertambah ruwet saja. Jangan harap ada papan penunjuk jalan untuk menemukan tempat wisata. Ini membuat wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi Kathmandu bisa pusing tujuh keliling hanya untuk menemukan suatu lokasi.

Durbar adalah istilah untuk menyebut kompleks bangunan yang terdiri dari istana raja, kuil Hindu, alun-alun, serta bangunan lainnya yang berhubungan dengan pusat pemerintahan. Kathmandu Durbar Square bisa dibilang sebagai titik nol kilometernya kota Kathmandu. Kompleks ini menyatu dengan bangunan di sekitarnya, sehingga batasnya tidak jelas. Orang lokal biasa lalu lalang di sini tanpa perlu membayar tiket. Namun wisatawan asing diharuskan membeli tanda masuk seharga 1000 rupee, atau sekitar USD 10.

Durbar Square Kathmandu


Sisa-sisa Bencana Gempa

Gempa bumi besar yang melanda Nepal pada 2015 lalu masih menyisakan efeknya pada bangunan-bangunan tua di kompleks Kathmandu Durbar Square. Upaya perbaikan masih terus dilakukan, namun kerusakan pada beberapa situs terlihat begitu fatal. Ada bangunan yang benar-benar hancur total, hanya menyisakan onggokan batu bata merah. Banyak bangunan lainnya hanya disangga kayu supaya tidak runtuh. Tentunya butuh upaya yang sangat besar dan lama untuk memperbaiki situs-situs berharga tersebut.

Meski banyak situs dalam kondisi rusak parah, masih ada beberapa bangunan yang kondisinya masih utuh. Salah satunya adalah Menara Basantapur, yakni bangunan 9 lantai yang dahulu berfungsi sebagai kediaman raja. Istana ini dibangun oleh Raja Prithvi Naraya di pertengahan abad ke-18. Karena masih diperbaiki pasca gempa, pengunjung masih belum diizinkan masuk ke dalamnya. Namun melihatnya dari luar saja sudah cukup memuaskan mata. Dindingnya yang terbuat dari bata merah itu dihiasi dengan pahatan halus yang menggambarkan mitologi Hindu. Sayang, lagi-lagi karena proyek restorasi pasca gempa, pengunjung tak bisa melihat dari dekat ukiran-ukiran halus itu.

Baca Juga: Treking di Nepal tanpa Pemandu

Setelah bertanya pada orang lokal, kami juga berhasil menemukan lokasi Kumari Ghar, yakni kuil tempat tinggal titisan Dewi Kumari. Nah, Kumari Ghar ini adalah kuil paling penting bagi penduduk Kathmandu. Di sini berdiam titisan Dewi Kumari yang menurut kepercayaan orang setempat berperan sebagai pelindung kota Kathmandu. Titisan Dewi Kumari ini adalah bocah perempuan yang dipilih pendeta setempat melalui serangkaian ritual.

Ritual pemilihan titisan Dewi Kumari dimulai dengan upacara penyembelihan kambing dan kerbau sebanyak 108 ekor. Bocah perempuan yang sudah dipilih itu lalu disuruh tidur bersama kepala hewan-hewan yang sudah dikorbankan tersebut. Kalau si bocah tidak ketakutan, berarti dia benar-benar titisan Dewi Kumari. Sang Dewi Kumari akan “bersemayam” di tubuh si bocah sampai ia mengalami menstruasi pertama. Setelah itu, akan dimulai lagi pencarian titisan Dewi Kumari berikutnya, dan begitu seterusnya. Namun sayang, karena banyaknya pengunjung, kami tak bisa melihat sosok titisan dewi tersebut.

Barangkali bakal sulit untuk menyukai Kathmandu pada pandangan pertama. Namun dengan melihatnya lebih dekat, saya menemukan banyak hal menarik di kota ini. Di tengah kemiskinan yang menghimpit, orang Kathmandu menghadapi kehidupan dengan sabar, bahkan bisa menyikapinya dengan humor. Saya telah belajar banyak hal dari mereka.

Kathmandu yang Kusut-masai, tapi Eksotis

Kathmandu adalah kampung raksasa yang sesak dan semrawut. Meski begitu, ada sisi lain yang membuat ibukota Nepal ini punya pesona tersendiri. Hanya saja, Anda perlu sedikit merubah cara pandang untuk menikmatinya.

“Hello, are you Malaysian?” sapa seorang pedagang jeruk yang mangkal di depan hotel tempat saya menginap. Tentu saja saya langsung menggeleng. “I am Indonesia,” jawab saya sambil berusaha tersenyum ramah. Karena tiap hari selalu mangkal di depan hotel itu, dia juga tahu persis kalau saya sudah menginap selama tiga hari di sana. Uniknya lagi, si pedagang jeruk yang berjualan dengan sepeda ini sama-sekali tak menawarkan dagangannya. Rupanya, dia hanya ingin mengobrol karena penasaran dari mana saya berasal.

Baca juga: Jangan Lihat Upacara Kremasi di Nepal Kalau Lemah Hati

Begitulah sedikit fragmen yang saya alami tentang betapa bersahabatnya penduduk Kathmandu. Namun, polusi udara yang akut serta kemiskinan yang menyolok bakal membuat turis mainstream menghindari kota ini. Kendati pun begitu, saya yang masuk ke Nepal melalui perjalanan darat dari India, mendadak merasa lega setelah tiba di Kathmandu. Dibanding kota-kota besar di India, Kathmandu ternyata lebih bersih dan tenang. Kemiskinan yang ekstrem memang mudah terlihat, ada banyak pengemis di tempat-tempat wisata. Tetapi, atmosfer yang dihadirkannya tetap saja santai dan bersahabat.


Legenda Lembah yang Terbelah

Kathmandu terletak di suatu lembah pada dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan. Lembah ini disebut Lembah Kathmandu, lalu nama tersebut dipakai sebagai nama kota Kathmandu. Legenda mengatakan, kawasan lembah ini dahulu adalah danau yang dipenuhi bunga teratai. Sampai suatu ketika, seorang pertapa dari Tibet bernama Manjushri membelah tepian lembah itu dengan pedangnya. Air danau serta-merta menjadi kering, lalu terbentuklah dataran lembah subur seperti sekarang.

Meski cerita tentang Manjushri itu hanyalah legenda, para arkeolog menyimpulkan bahwa kawasan Lembah Kathmandu dahulu benar-benar berupa danau. Tetapi keringnya air danau tidak terjadi seketika seperti dalam cerita dongeng, namun proses sangat lama yang disebabkan pergerakan muka bumi. Danau di Lembah Kathmandu sendiri terbentuk lebih dari sejuta tahun lampau dengan kedalaman diperkirakan mencapai 200 meter.

Baca Juga: Ini Rute Treking di Nepal versi Saya

Berakhirnya zaman es sekitar 30 ribu tahun lalu membuat kawasan Himalaya menjadi kering, dan air danau di lembah Kathmandu berlahan-lahan menyusut. Lembah Kathmandu berubah menjadi daratan sekitar 18 ribu tahun lalu. Tanahnya yang subur menarik pemukim untuk mengembangkan peradaban baru di sini. Apalagi letaknya juga sangat strategis, berada di jalur sutera yang kala itu jadi urat nadi perdagangan dunia. Tempat ini kemudian berkembang pesat dan melahirkan peradaban Lembah Kathmandu.

Lembah Kathmandu diperkirakan mulai dihuni manusia sejak 300 tahun sebelum Masehi. Para penghuni kawasan ini disebut Newari. Merekalah yang membangun peradaban tinggi di Lembah Kathmandu dengan mengembangkan karya arstitektur, seni patung, tarian, kuliner, dan lainnya. Cemerlangnya peradaban Lembah Kathmandu dibuktikan dengan banyaknya situs-situs tua bernilai tinggi yang mereka tinggalkan. Di kawasan ini terserak ratusan artefak bersejarah penting, dan tujuh diantaranya sudah masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO.

Panorama lembah Kathmandu


Sinkretisme Hindu dan Buddha

Pagi-pagi sekali, saya bersama Masaki, kenalan dari Jepang yang saya temui di Thamel, siap berangkat untuk menjelajah tempat-tempat bersejarah di Kathmandu yang masuk daftar Situs Warisan Dunia UNESCO. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Kuil Swayambunath, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Thamel, tempat kami menginap. Kami pilih berjalan kaki karena ingin melihat lebih dekat kehidupan di Kathmandu. We wanna feel the real Kathmandu!

Namun, perjalanan yang tak begitu jauh itu terasa sangat lama karena Kathmandu sungguh tak bersahabat dengan pejalan kaki. Selain debu jalanan yang sangat pekat, trotoar juga tak nyaman dilewati. Bahkan di kawasan kota tua seperti Thamel dan Paknajol, tak ada trotoar sama sekali. Pejalan kaki harus berbagi dengan becak, taksi dan sepeda motor di jalanan yang sangat sempit. Kalau tak hati-hati, kaki bisa saja dilindas roda becak atau sepeda motor.

Dengan bantuan Google Maps, kami tak kesulitan menemukan lokasi Kuil Swayambunath. Kuil ini terletak di atas bukit dengan memiliki pemandangan elok. Sekitar 500 meter sebelum mencapai lokasi, pemandangan kota Kathmandu dari bukit ini sudah bisa dinikmati pengunjung. Dari sini, bisa terlihat posisi kota Kathmandu yang berada di tengah lembah dan dikelilingi pegunungan. Namun, kalau kita sudah menjejakkan kaki di Kuil Swayambunath yang berada di puncak bukit, pemandangannya akan lebih menarik lagi.

Untuk mencapai Kuil Swayambunath, pengunjung harus mendaki 365 anak tangga yang lumayan curam. Terus terang, saya tak sempat menghitung apakah jumlah anak tangganya benar-benar berjumlah demikian. Ada yang bilang anak tangganya hanya berjumlah 180 saja. Namun yang jelas, saya dan Masaki dibikin ngos-ngosan dulu sebelum berhasil mencapai Kuil Swayambunath yang berada di puncak bukit. Di tangga menuju kuil, ada banyak monyet-monyet yang tingkahnya cukup agresif. Sebaiknya Anda tak membawa makanan kalau tak ingin diganggu monyet-monyet liar ini.

Melihat bentuknya yang berupa stupa, Swayambunath akan mengingatkan kita  pada kuil Buddha. Tetapi kuil ini ternyata juga dipakai oleh umat Hindu untuk beribadat. Di sekitar stupa Swayambunath yang berwarna putih itu, terdapat kuil Hindu dengan simbol-simbol mitologinya yang berdampingan dengan figur Buddha. Sebagian warga Nepal memang menganut paham sinkretisme, jadi mereka mempraktikkan kepercayaan Hindu dan Buddha sekaligus.

Begitu menginjakkan kaki di area Kuil Swayambunath, pengunjung biasanya langsung mengitari pagoda searah jarum jam sambil memutar cakra doa, juga searah jarum jam. Ritual ini disertai dengan pengucapan mantra Om Mani Padme Hum yang menyimbolkan manusia, alam, dan Tuhan. Dalam kepercayaan Buddha, mengitari stupa juga melambangkan reinkarnasi atau siklus kehidupan, dari lahir, mati, lalu mencapai nirwana.

Peziaran memutar cakra doa


Kusut-masai yang Eksotis

Setelah mengunjungi Kuil Swayambunath, kami kembali berjalan kaki menuju pusat kota untuk melihat Kathmandu Durbar Square. Makin ke pusat kota, suasananya makin terasa padat saja. Seperti kawasan kota tua lainnya di ibukota Nepal, Kathmandu Durbar Square terlihat begitu semrawut. Jalanannya yang sempit tak hanya ramai dilalui pejalan kaki, tapi juga dilintasi becak dan mobil. Tapi penduduk Kathmandu terlihat kalem saja menghadapi situasi ini.

Kami beberapa kali berhenti untuk mengambil foto, memotret panorama kota tua Kathmandu yang sangat fotogenik. Pemandangan yang disuguhkan Kathmandu sudah jarang kita temui di kota lainnya di Asia yang makin modern. Di berbagai sudut jalan, kita bisa melihat kuil-kuil yang ramai dipadati peziarah. Bangunan-bangunan tua yang nampak tak terurus justru menambah kesan eksotis.

Setelah beberapa kali kehilangan arah, akhirnya kami menemukan lokasi Kathmandu Durbar Square. Tanpa bantuan Google Maps, saya yakin kami tak akan pernah menemukan tempat itu. Jalanan di bagian kota tua Kathmandu selain sempit, juga rumit dan berkelok-kelok. Kota ini seperti kampung raksasa yang tumbuh sendiri tanpa perencanaan. Kabel-kabel listrik menggelantung tak beraturan, bikin pemandangan bertambah ruwet saja. Jangan harap ada papan penunjuk jalan untuk menemukan tempat wisata. Ini membuat wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi Kathmandu bisa pusing tujuh keliling hanya untuk menemukan suatu lokasi.

Durbar adalah istilah untuk menyebut kompleks bangunan yang terdiri dari istana raja, kuil Hindu, alun-alun, serta bangunan lainnya yang berhubungan dengan pusat pemerintahan. Kathmandu Durbar Square bisa dibilang sebagai titik nol kilometernya kota Kathmandu. Kompleks ini menyatu dengan bangunan di sekitarnya, sehingga batasnya tidak jelas. Orang lokal biasa lalu lalang di sini tanpa perlu membayar tiket. Namun wisatawan asing diharuskan membeli tanda masuk seharga 1000 rupee, atau sekitar USD 10.

Durbar Square Kathmandu


Sisa-sisa Bencana Gempa

Gempa bumi besar yang melanda Nepal pada 2015 lalu masih menyisakan efeknya pada bangunan-bangunan tua di kompleks Kathmandu Durbar Square. Upaya perbaikan masih terus dilakukan, namun kerusakan pada beberapa situs terlihat begitu fatal. Ada bangunan yang benar-benar hancur total, hanya menyisakan onggokan batu bata merah. Banyak bangunan lainnya hanya disangga kayu supaya tidak runtuh. Tentunya butuh upaya yang sangat besar dan lama untuk memperbaiki situs-situs berharga tersebut.

Meski banyak situs dalam kondisi rusak parah, masih ada beberapa bangunan yang kondisinya masih utuh. Salah satunya adalah Menara Basantapur, yakni bangunan 9 lantai yang dahulu berfungsi sebagai kediaman raja. Istana ini dibangun oleh Raja Prithvi Naraya di pertengahan abad ke-18. Karena masih diperbaiki pasca gempa, pengunjung masih belum diizinkan masuk ke dalamnya. Namun melihatnya dari luar saja sudah cukup memuaskan mata. Dindingnya yang terbuat dari bata merah itu dihiasi dengan pahatan halus yang menggambarkan mitologi Hindu. Sayang, lagi-lagi karena proyek restorasi pasca gempa, pengunjung tak bisa melihat dari dekat ukiran-ukiran halus itu.

Baca Juga: Treking di Nepal tanpa Pemandu

Setelah bertanya pada orang lokal, kami juga berhasil menemukan lokasi Kumari Ghar, yakni kuil tempat tinggal titisan Dewi Kumari. Nah, Kumari Ghar ini adalah kuil paling penting bagi penduduk Kathmandu. Di sini berdiam titisan Dewi Kumari yang menurut kepercayaan orang setempat berperan sebagai pelindung kota Kathmandu. Titisan Dewi Kumari ini adalah bocah perempuan yang dipilih pendeta setempat melalui serangkaian ritual.

Ritual pemilihan titisan Dewi Kumari dimulai dengan upacara penyembelihan kambing dan kerbau sebanyak 108 ekor. Bocah perempuan yang sudah dipilih itu lalu disuruh tidur bersama kepala hewan-hewan yang sudah dikorbankan tersebut. Kalau si bocah tidak ketakutan, berarti dia benar-benar titisan Dewi Kumari. Sang Dewi Kumari akan “bersemayam” di tubuh si bocah sampai ia mengalami menstruasi pertama. Setelah itu, akan dimulai lagi pencarian titisan Dewi Kumari berikutnya, dan begitu seterusnya. Namun sayang, karena banyaknya pengunjung, kami tak bisa melihat sosok titisan dewi tersebut.

Barangkali bakal sulit untuk menyukai Kathmandu pada pandangan pertama. Namun dengan melihatnya lebih dekat, saya menemukan banyak hal menarik di kota ini. Di tengah kemiskinan yang menghimpit, orang Kathmandu menghadapi kehidupan dengan sabar, bahkan bisa menyikapinya dengan humor. Saya telah belajar banyak hal dari mereka.

Tidak ada komentar

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...