Lautan Jilbab di Turki


Turki dikenal sebagai satu-satunya negara Muslim yang secara tegas menganut ideologi sekuler. Tapi bukan berarti jilbab yang sering dianggap simbol konservatisme itu sesuatu yang langka di Turki. Pemandangan beberapa kota di Turki lebih mirip Tehran di Iran, jauh dari kesan negara sekuler.

Tengoklah Konya, sebuah kota yang berada di Central Anatolia Turki. Sekitar 70 persen kaum hawa di sana memilih menggunakan jilbab. Konya adalah salah satu kota besar di bagian tengah Turki. Jadi salah besar kalau Anda mengira perempuan yang memakai jilbab hanya tinggal di desa atau kota-kota kecil. Dan Konya bukanlah satu-satunya kota di Turki yang dipenuhi pemakai jilbab. Pemandangan yang saya akan ditemui di kota-kota metropolitan lainnya di wilayah Central Anatolia seperti Kayseri dan Nevsehir.

Sampai sekarang, jilbab menjadi topik yang sangat kontroversial di Turki. Bagi pendukung ideologi Kemalis, jilbab bertentangan dengan konstitusi negara Turki yang jelas-jelas sekuler. Kaum kemalis ini sejak kemerdekaan negara Turki modern memegang tafsir tunggal mengenai sekularisme Turki. Mereka mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pewaris dan penerus ajaran Kemal Ataturk, bapak negara Turki modern.

Penampilan perempuan Turki yang berhijab
Setelah keruntuhan Kesultanan Turki Usmani, kondisi sosial dan politik di Turki benar-benar berubah. Negara Turki modern yang menganut ideologi sekuler memberangus semua simbol-simbol agama di tempat umum. Tak terkecuali jilbab yang dianggap lambang keterbelakangan. Penggunaannya dilarang di kantor-kantor pemerintah, sekolah, universitas, serta tempat publik lainnya.

Merve Kavakci, seorang anggota parlemen Turki pernah mencoba mendobrak larangan itu. Pada 1999, ia yang sah terpilih sebagai anggota parlemen dari Virtue Party mencoba masuk ke gedung parlemen dengan menggunakan jilbab. Tapi rupanya kelompok anti jilbab masih terlalu kuat. Merve Kavakci yang terpilih sah oleh konstituennya itu diteriaki ramai-ramai supaya segera keluar! Lihat video pengusiran Merve Kavakci di bawah ini.


Belakangan, Virtue Party juga dibubarkan karena dianggap terlalu Islami. Dalam tradisi politik Turki, haram hukumnya membawa-bawa agama untuk mendapatkan suara pemilih. Jilbab yang dianggap simbol agama itu juga tidak boleh dipakai politisi, pejabat publik dan anggota parlemen.

Namun, perkembangan politik Turki dalam beberapa tahun terakhir memberi angin segar bagi politisi yang dianggap pro-Islami. Bekas anggota Virtue Party segera menghimpun kekuatannya kembali untuk membentuk partai politik baru. Mereka membentuk Partai AKP dan Felicity Party yang kini malah mendominasi parlemen dan lembaga eksekutif.

Jangan heran kalau istri presiden dan perdana menteri Turki yang sekarang mengenakan jilbab. Tapi perempuan berjilbab yang menjadi anggota parlemen atau pejabat publik masih menjadi hal yang sangat tabu di Turki. Persoalan ini terus menjadi perdebatan antara Partai CHP yang Kemalis dan Partai AKP yang pro perubahan.

Setelah Partai AKP yang dianggap berhaluan Islami itu makin mendominasi dunia politik Turki, aturan-aturan tentang penggunaan jilbab makin dilonggarkan. Kenyataan ini tentu saja membuat gusar kaum Kemalis yang mengganggap itu sangat berbahaya bagi prinsip sekularisme Turki. Mereka juga terus mendengungkan bahaya kebangkitan fundamentalisme Islam. Begitulah, secarik kain yang menutup kepala kaum perempuan itu menjadi topik perdebatan yang teramat panas.

Persoalan ini bukan hanya menjadi perdebatan elite politik, tapi juga tema kontroversial di kalangan akar rumput. Masyarakat Turki kini seolah terbelah menjadi dua kelompok besar, yakni pendukung Kemalis dan mereka yang menginginkan hak lebih besar untuk mengekspresikan keyakinan agama. Dan tentu saja, perbincangan mengenai jilbab selalu jadi topik seru.

Terlepas dari pro kontra mengenai jilbab, kaum perempuan yang memilih mengenakan busana Muslim itu agaknya makin besar saja jumlahnya. Kalau dulu, mereka yang mengenakan jilbab kebanyakan perempuan tua. Tapi sekarang, pengguna jilbab dari kelompok usia muda makin besar saja jumlahnya. Bahkan di kota-kota yang dianggap sangat liberal seperti Izmir dan Istanbul, perempuan muda yang berjilbab cukup mudah ditemui di tempat umum.

Jangan tanya lagi bagaimana keadaan kota-kota di kawasan Central Anatolia yang sudah lama jadi basis kaum konservatif. Tempat-tempat umum di sana sudah menjelma menjadi lautan jilbab. Menurut survei yang dilakukan oleh Gallup, sebuah lembaga riset internasional yang sangat disegani, jumlah kaum perempuan di Turki yang mengenakan jilbab mencapai 45 persen. Hasil riset lainnya menunjukkan angka yang bervariasi, tapi jumlahnya berkisar 30-40 persen.

Cukup sulit memperoleh angka yang pasti karena banyak perempuan di Turki tidak selalu mengenakan jilbab sepanjang waktu. Karena ada banyak pembatasan, kaum perempuan cenderung tidak mengenakan jilbab di tempat kerja. Tapi mereka memilih mengenakan jilbab ketika berada dalam situasi yang tidak berhubungan dengan pekerjan mereka.

Fenomena ini tentunya sangat menarik. Namun, meskipun pemakai jilbab jumlahnya cukup besar di Turki, ruang gerak kaum perempuan yang mengenakan busana Muslim itu masih dibatasi. Lalu bagaimana kelompok masyarakat yang dianggap konservatif ini bisa tetap survive menghadapi berbagai peraturan yang tidak bersahabat dengan kepercayaan mereka? Seperti kita ketahui, ideologi sekularisme Turki masih memasang wajah garang terhadap simbol-simbol agama.

Bagaimana pula pendapat kaum muda Turki menyikapi perkembangan politik yang terjadi di negaranya? Saya berusaha mencari jawabannya dengan berkeliling kota-kota di Central Anatolia yang dianggap kawasan “bible belt”-nya Turki. Semuanya terangkum dalam buku “Rp2,5 Jutaan Keliling Turki”, diterbitkan oleh B-First (Kelompok Bentang).

Buku ini dikemas dengan gaya bahasa populer serta dilengkapi panduan perjalanan lengkap ke Turki. Meskipun dikemas populer, buku ini banyak menyingkap sisi lain kehidupan di Turki yang jarang dibahas artikel-artikel perjalanan di majalah wisata. Baca ulasannya di sini.

Tidak ada komentar

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...