Beranda

    Social Items

Tampilkan postingan dengan label indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label indonesia. Tampilkan semua postingan
Banyak rumor yang beredar mengenai Sumba. Ada anggapan kalau wilayah Sumba bagian barat itu kurang aman, banyak rampok katanya. Itu pula yang menyebabkan jalan-jalan sendirian alias solo backpacking tidak dianjurkan. Konon, warga Sumba barat yang acapkali membawa parang ke mana-mana suka memeras wisatawan. Apakah ini nyata atau sekedar cerita di media sosial yang dilebih-lebihkan?

Selain itu, transportasi umum yang masih sulit juga membuat Sumba makin tak dilirik solo traveler. Minimnya transportasi umum ini memang dirasakan hampir semua tempat wisata di Indonesia, tak hanya di Sumba saja. Padahal, solo traveling sudah jadi tren global saat ini. Indonesia telah kehilangan kue jutaan wisatawan karena mengabaikan hal ini. Semoga saja masalah transportasi umum ini mendapat perhatian serius oleh aparat berwenang.

Dengan berbagai kendala tersebut, masih bisakah menjelajah Sumba sendirian dengan bujet terbatas? Asal direncanakan dengan cermat, menurut saya sangat bisa!

Rutenya mulai dari mana?

Sumba lebih kecil dari Flores, jadi sebenarnya cukup gampang menyusun rencana perjalanan ke pulau ini. Ada dua pintu masuk ke Sumba, yakni lewat Waingapu dan Tambolaka. Dua kota besar di Sumba ini belum memiliki penerbangan langsung dari Jakarta. Kita harus transit dulu di Denpasar, Kupang atau Ende.

Bagi yang ingin menempuh lewat jalur laut dengan ferry penyeberangan ASDP, bisa masuk dari Waikelo yang jaraknya sangat dekat Tambolaka. ASDP melayani rute Sape-Waikelo 3 kali seminggu. Kapal Pelni sebagian besar berlabuh di Waingapu, namun jadwalnya tak sesering ferry ASDP.

Perlu diperhatikan pula, ferry penyeberangan ASDP tak beroperasi sepanjang tahun karena adanya bahaya gelombang tinggi. Cek melalui situs ASDP untuk mengetahui jadwal keberangkatan yang lebih detail.


Kapan sebaiknya berkunjung?

Bagi yang pencinta panorama sunset, sunrise dan milky way, bulan Juni-Oktober adalah waktu yang paling tepat untuk mengunjungi Sumba. Pada bulan-bulan ini kita bisa menikmati langit yang biru dengan bintang-bintang terang di waktu malam. Air terjun juga akan lebih jernih seperti yang Anda lihat di foto-foto Instagram.

Namun datang di musim hujan juga ada kelebihannya. Musim hujan di Sumba menyuguhkan panorama bukit-bukit dan savana yang serba hijau, nampak sangat fotogenik untuk dipotret. Di musim kemarau, sering ada bekas kebakaran si padang savana yang membuat foto menjadi tak menarik. Selain itu, di musim penghujan cuaca juga lebih sejuk sehingga panorama alam bisa dinikmati dengan lebih nyaman.

Puncak musim hujan berlangsung sekitar Desember-Februari. Intensitas hujan cukup tinggi pada bulan-bulan ini, namun biasanya hujan tak berlangsung lama sehingga tak terlalu mengganggu acara jalan-jalan. Waktu paling ideal sebenarnya sekitar Maret-Mei. Intensitas hujan tak terlalu tinggi, namun kita masih bisa melihat panorama savana yang hijau. Kapal ferry penyeberangan ASDP juga biasanya sudah beroperasi lagi sekitar Maret, sehingga makin memudahkan Anda yang ingin masuk ke Sumba lewat jalur laut.

Baca juga: Siapa Bilang Jalan-jalan ke Sumba Mahal?

Pilihlah akomodasi di pusat kota

Di musim sepi turis, banyak resort di Sumba yang banting harga. Penginapan di pinggir pantai sering memasang tarif mulai Rp300 ribuan saja. Namun kalau Anda solo traveler, lupakan menginap di resort yang lokasinya terpencil ini. Karena lokasinya jauh, biaya taksi menuju resort bisa jadi lebih mahal dari tarif menginap per malam.

Bagi solo backpacker, disarankan menginap di pusat kota yang sudah memiliki banyak fasilitas. Ada 3 tempat yang bisa dijadikan basis Anda, yakni Tambolaka, Waikabubak dan Waingapu. Koneksi internet yang baik di pusat kota juga akan memudahkan Anda melakukan riset perjalanan melalui internet, serta tentunya menghubungi keluarga di rumah.

Angkutan umum di Sumba

Lebih irit dengan ojek dan angkutan umum

Meski transportasi umum di Sumba tergolong langka, dengan perencanaan perjalanan yang cermat, Anda tetap masih bisa menjelajahinya tanpa menyewa mobil. Menggunakan transportasi umum tentunya jauh lebih irit daripada menyewa mobil untuk sendiri.

Bus menuju Waingapu dan Waikabubak biasanya ngetem di sekitar pasar Tambolaka, tak jauh dari Hotel Sinar Tambolaka. Perjalanan dengan bus menuju Waikabubak memakan waktu sekitar 2 jam, sedangkan Waingapu bisa dicapai dalam waktu sekitar 4 jam. Di Waingapu, bus umum biasa ngetem di depan pasar Matawai. Sayangnya, bus-bus ini banyak yang sudah tidak layak jalan. Penumpangnya juga sering penuh sampai harus duduk di atap.

Pilihan yang lebih nyaman bisa menggunakan travel. Setahu saya, hanya ada satu perusahaan travel di Sumba yakni Travel Sinar Lombok. Travel ini melayani jurusan Tambolaka-Waikabubak-Waingapu dua kali sehari, berangkat pukul 8 pagi dan 2 siang. Tarif travel Tambolaka-Waikabubak sebesar Rp40 ribu, dan Tambolaka-Waingapu Rp80 ribu. Pesan langsung melalui nomor Whatsapp +6285239006666. Jangan memesan lewat hotel karena biasanya mereka menarik komisi yang besar.

Untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, Anda bisa menyewa motor atau memakai jasa ojek. Hotel Sinar Tambolaka di Tambolaka dan Hotel Jemmy di Waingapu menyediakan penyewaan motor dengan tarif Rp 100 ribu per hari. Motor yang mereka sewakan jenis kopling, bukan motor matik. Ojek juga cukup mudah didapat di pusat kota. Kalau kesulitan mendapatkan ojek, Anda bisa menghubungi pegawai hotel untuk mendapat bantuan.

Santai saja, tak perlu kunjungi semua tempat

Karena tidak menyewa mobil, ruang gerak Anda tak seleluasa mereka yang ikut Open Trip. Jadi jangan membuat daftar panjang tempat-tempat yang ingin dikunjungi ala Open Trip karena bakal menyulitkan Anda sendiri. Toh sebenarnya tempat-tempat tersebut banyak yang mirip, jadi Anda tak perlu mengunjungi semuanya.

Sebagai contoh, Kampung Adat Ratenggaro di Sumba Barat cukup sulit dijangkau dengan sepeda motor dan jaraknya lumayan jauh dari pusat kota. Sebagai gantinya, Anda bisa mengunjungi Kampung Tarung atau Kampung Pra Ijing yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki saja dari pusat kota Waikabubak. Bagi yang tertarik dengan air terjun, jalanan menuju air terjun Lapopu dan air terjun Tanggedu belum begitu bagus. Sebagai alternatif, cukup kunjungi air terjun Waimarang yang kondisi jalannya sudah bagus dan bisa dijangkau dengan motor sewaan atau ojek dari pusat kota Waingapu.




A post shared by Hairun✈pelancongirit.com (@pelancongirit) on

Jangan salah paham kalau ada yang bawa parang

Di kawasan Sumba Barat, Anda akan sering menjumpai lelaki yang berjalan ke mana-mana membawa parang. Hal tersebut bukan untuk menakut-nakuti, tapi hanya sekadar kebiasaan penduduk setempat. Parang ini sifatnya seperti aksesoris, semacam simbol maskulinitas lelaki yang sudah akil baliq.

Rumor tentang “kebengisan” orang Sumba Barat menurut saya sangat dilebih-lebihkan. Saya pernah membaca sebuah posting di Facebook yang bercerita tentang pengalamannya “diperas” oleh warga yang membawa parang di Danau Weekuri. Kenyataannya, pengunjung memang harus memberi donasi setelah mengunjungi tempat tersebut. Memang tidak ada tiketnya karena tempat-tempat wisata di Sumba sebagian besar dikelola langsung oleh warga. Namun selalu ada buku tamu di mana pengunjung menuliskan jumlah donasinya.

Saya sendiri melihat banyak lelaki yang membawa parang di Danau Weekuri serta tempat-tempat lainnya di Sumba Barat. Bahkan ada yang makan di warung bakso saja masih membawa parang. Namun sikap mereka biasa saja, jauh dari gambaran “bengis” seperti cerita-cerita di media sosial. Bahkan banyak yang ramah dan tampangnya ganteng pula, hehe…

Baca juga: Rute Trekking di Nepal Versi Saya

Tip Merencanakan Solo Backpacking ke Sumba

Indonesia memang indah, tapi biaya jalan-jalan di negeri sendiri mahal! Begitu keluhan yang sering kita dengar. Apalagi ke Sumba, yang sampai sekarang dianggap destinasi eksklusif. Siapa yang belum pernah mendengar tentang Nihi Sumba, resort super mewah yang sering dikunjungi selebritas dunia itu?

Tapi kalau ada niat, selalu ada jalan untuk menjelajah negeri sendiri dengan bujet terbatas. Beberapa tip berikut ini kiranya bisa membantu Anda untuk merencanakan perjalanan bujet hemat ke Sumba.

Ikut Open Trip, Sharing Cost, atau Solo Backpacking?

Mana yang paling hemat akan bergantung pada Anda sendiri. Bagi yang masih buta mengenai Sumba dan tak punya waktu untuk riset informasi, ikut open trip adalah pilihan yang paling masuk akal. Informasi wisata Sumba juga masih minim, jadi bakal menyulitkan kalau Anda tak biasa melakukan perjalanan mandiri.

Umumnya sharing cost lebih murah dari open trip, tapi mencari partner perjalanan ke Sumba bukanlah perkara gampang. Sebaiknya cari partner perjalanan yang sudah dikenal karena kemungkinan Anda perlu mentransfer uang lebih dulu untuk uang muka sewa mobil dan akomodasi. Kendaraan sewa biasanya bisa muat sampai 7 orang. Jadi makin banyak peserta, makin murah biayanya.

Tak mau repot mencari partner perjalanan, tapi bujet Anda sangat terbatas? Mengapa tak mencoba solo backpacking? Bagi yang ingin menjelajah Sumba sendirian, baca artikel Tip Merencanakan Solo Backpacking ke Sumba.


Tiket pesawat mahal? Naik kapal saja!

Bagi yang punya waktu longgar, mencapai Sumba dengan ferry penyeberangan maupun kapal Pelni ternyata tak sesulit yang dibayangkan banyak orang. Ini bisa jadi alternatif transportasi yang lebih hemat mengingat akhir-akhir ini harga tiket pesawat domestik naik drastis.

Angkutan laut yang paling bisa diandalkan adalah kapal ferry ASDP rute Sape-Waikelo yang berangkat 3 kali seminggu. Waktu perjalanannya sekitar 7 jam dengan ongkos Rp76 ribu saja. Kapal ferry ini berangkat tengah malam dari Sape dan tiba keesokan paginya di Waikelo. Untuk rute sebaliknya, kapal ferry berangkat pagi hari sekitar pukul 9 dan tiba di Sape sore hari.

Saat musim gelombang tinggi sekitar Desember-Februari, kapal ferry ini tidak beroperasi. ASDP juga mengoperasikan ferry rute Waingapu-Ende, Waingapu-Sabu-Rote-Kupang, dan Waingapu-Aimere. Informasi jadwalnya bisa dilihat di situs resminya indonesianferry.co.id atau bisa ditanyakan langsung melalui akun Twitter dan Instagram ASDP.

Untuk kapal Pelni, pilihan rutenya lebih banyak. Ada KM. Awu yang berangkat dari Surabaya, Bali (Benoa) dan Bima. Lalu ada KM. Egon dari Lembar (Lombok), serta KM. Wilis juga berangkat dari Bima. KM. Awu juga melayani rute Ende-Waingaipu dan ada beberapa kapal lainnya yang mengoperasikan rute Labuan Bajo-Waingapu.

Mengecek jadwal kapal Pelni melalui situsnya barangkali bisa bikin Anda sedikit frustasi. Jadwal kapal biasanya baru keluar 2-3 minggu sebelum keberangkatan. Tapi kebanyakan rute kapal Pelni beroperasi tiap 2 minggu sekali. Jadi meskipun jadwal resminya belum keluar, tanggal keberangkatan bisa diperkirakan. Informasi mengenai jadwal kapal Pelni bisa dilihat di situs resmi mereka pelni.co.id.
 

Harga makanan ternyata cukup terjangkau

Berbeda dengan anggapan banyak orang, harga makanan di Sumba ternyata cukup murah, tak beda jauh dengan Pulau Jawa. Warung makan cukup mudah ditemui di pusat kota Waitabula, Waingapu dan Waikabubak. Sebagian besar menunya halal karena warung-warung ini dikelola para pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Nasi campur dengan lauk ikan harganya sekitar Rp15 ribu. Makanan yang populer di tempat lain seperti bakso, mi ayam dan nasi kuning juga mudah didapat.

Namun di tempat-tempat wisata masih jarang ada penjual makanan. Kalaupun ada lapak penjual, biasanya hanya menyediakan mi instan. Jadi pastikan selalu membawa nasi kotak untuk makan siang supaya tidak kelaparan di tempat wisata. Nasi kotak ini bisa dipesan di hotel maupun di warung-warung.

Warung makan mudah ditemui di pusat kota Tambolaka, Waikabubak dan Waingapu

Warung makan biasanya juga mencantumkan harga menunya

Hanya sedikit pilihan akomodasi

Penginapan bujet di Sumba bisa dihitung dengan jari, juga belum ada hostel yang menyediakan dormitory. Tarif penginapan di Sumba juga lebih mahal dibanding hotel sekelas di destinasi yang lebih populer. Di Tambolaka misalnya, kita harus membayar sekitar Rp200 ribuan untuk kamar yang sangat sederhana, tanpa AC dan kamar mandinya tak begitu bagus.

Jadi turunkan ekspektasi Anda dengan hotel-hotel di Sumba, kecuali Anda mampu membayar jutaan rupiah per malam untuk menginap di resort mewah. Luangkan waktu lebih banyak di luar hotel karena kondisi kamar bisa jadi kurang nyaman buat Anda.

Internet di Sumba lumayan lancar

Jaringan 4G sudah tersedia di kota besar seperti Tambolaka, Waikabubak dan Waingapu. Meski jaringan 4G ini hanya menjangkau kawasan kota, koneksi internet di Sumba sudah lumayan bagus. Kita tak akan kesulitan memutar video Youtube atau sekadar mengecek media sosial. Untuk wilayah Sumba Barat, operator yang beroperasi hanya XL dan Telkomsel. Sedangkan di Sumba Timur (sekitar Waingapu), operator yang sudah beroperasi XL, Indosat dan Telkomsel. Jaringan selular ini tak hanya menjangkau kota-kota besar, tapi sudah masuk ke wilayah cukup terpencil seperti Kodi dan Lamboya.

Siapkan anggaran untuk donasi

Sebagian besar objek wisata di Sumba dikelola sendiri oleh warga setempat. Pengunjung tak diberi karcis, tapi hanya disuruh mengisi buku tamu lalu menuliskan jumlah donasi yang diserahkan. Jumlah donasi ini sifatnya sukarela, namun tiap grup biasanya memberi Rp50 ribu.

Sebelum menyerahkan uang, pastikan Anda mengisi buku tamu tersebut lebih dulu. Kalau tak ada buku tamu, bisa dipastikan itu pungli!


Jangan memberi uang pada anak-anak

Masih banyak daerah-daerah di Sumba yang tergolong kawasan tertinggal. Kemiskinan  terlihat sangat menyolok di Kabupaten Sumba Barat Daya. Tak jauh dari tempat-tempat wisata kita dengan mudah bisa melihat rumah-rumah gubuk yang tak memiliki jaringan listrik dan toilet. Sungguh ironis, mengingat Sumba Barat Daya adalah kawasan yang paling subur di Pulau Sumba, serta industri pariwisatanya sedang berkembang sangat pesat.

Hal yang paling miris adalah anak-anak yang disuruh orangtuanya berjualan di tempat wisata saat jam sekolah. Cara berjualan mereka juga agak memaksa. Meskipun kita sudah bilang berkali-kali tak berniat membeli, mereka akan terus mengikuti sampai kita jatuh iba. Perlu disadari bahwa cara berdagang seperti ini adalah bentuk eksploitasi anak-anak. Kalau kita membeli, berarti kita mendukung eksploitasi anak-anak tersebut.

Jika Anda berniat membantu, sebaiknya langsung memberi makanan, pakaian, atau alat-alat tulis supaya mereka terdorong untuk sekolah.

Baca Juga: Menjajal Rute Trekking Singkat di India

Siapa Bilang Jalan-jalan ke Sumba Mahal?

Would it be possible to explore Sumba island on low-budget? Well, this question is always asked by many people, especially budget travelers or young backpackers wanting to visit the exotic island of Sumba. It's understandable though, because Sumba is still considered an exclusive destination, a remote island that only celebrities can afford to visit.

But, in fact, that’s not actually true. It's definitively possible to experience Sumba’s unique cultures and amazing landscapes without destroying your bank account. Here are few tips on how to plan your budget trip to Sumba island!

Do your own research

Joining group tour which often called “open trip” might not be your cheapest option. But for inexperienced traveler or simply don’t have time for travel research, joining open trip is the most reasonable choice. Conventional guidebooks such as Lonely Planet don’t have more than few pages about Sumba. And they are usually already outdated at the time of going to press.

Therefore, doing travel research on Sumba is not an easy task. You must actively collect the latest information from blogs and websites. You can also join Facebook group named Backpacker Indonesia where you can ask question to other members who just completed their trip. Based on my experience, this group has a very active community and able to answer almost all of my questions.

Amazing lanscape of Sumba

Find your travel partner

Due to lack of public transport, exploring remote area like Sumba will be very expensive for solo traveler. It’s a good idea to find travel partner to share transportation costs. Renting car in Sumba will costs you at least 800,000 rupiah per day, relatively higher compare to more popular destinations like Bali or Lombok.

Having travel companion will also help you to lower accommodation costs. Accommodation option is very limited in Sumba. There's no hostel with dormitory room that easily found in popular destinations like Bali or Lombok. Most part of Sumba is also still quiet, you are unlikely to meet other travelers. Frankly speaking, Sumba is not a friendly destination for solo traveler.

But, how to find travel buddy? There are plenty of travel communities on the internet to find travel partner. For domestic trip, I often use backpackerindonesia.com, a website that allows users to place their ads for finding travel buddy. This site has tens of thousands members, so your chances of getting partner are high. Another well-known community travel website is backpackerjakarta.com. Popular among young backpackers in Jakarta, this website is great way to find travel partners.

Public transport in Sumba

Bring your motorcycle and just get on the ferry!

Rising price of domestic flights have been greatly affected travelers to choose international destinations than exploring their own country. This is very ironic because longer international flights are often sold at lower prices.

Alternatively, you can reach Sumba by boat or ferry crossing. Yes, it takes a lot longer, but it will save you a lot of money!

Reaching Sumba by ferry crossing might be easier than you think. Regular ferry run by ASDP departs Sape in Sumbawa three times per week to Waikelo in West Sumba. It just costs 69,000 rupiah, departs every Monday, Wednesday and Friday at 9 PM. Your sea journey takes 9 hours, and it’s possible to bring your own motorcycle with added charge. Please visit indonesianferry.co.id for more information.

If you couldn’t find a travel buddy, riding your own motorcycle is the best way to explore Sumba on a low budget. Yet, motorcycle rental also could be found in Tambolaka and Waingapu. For group of more than 4 people, renting car will be more comfortable.







A post shared by Hairun✈pelancongirit.com (@pelancongirit) on

Make a simple itinerary

Tourist attractions in Sumba are very scattered, so avoid a long list of places to visit. You can travel easier and cheaper with a simple itinerary. Many tourist attractions in Sumba actually are pretty similar, you can skip a few of them. For example, reaching Ratenggaro Village in isolated westernmost part of Sumba could be challenging and time-consuming. Instead, you can visit Tarung Village that can be reached on foot from the downtown of Waikabubak.

Don’t forget to make hard copy of your itinerary. You must remember that sometimes smartphones die and we don't always have access to wifi when traveling. This is where the hard copy comes in. In your itinerary, make a simple list of places to visit, hotel addresses and other important information.

Prepare your lunch

Contrary to popular belief, food price is affordable in Sumba. Mixed rice or nasi campur at local eatery only costs around 15,000 rupiah. Food stalls are easy to find on the main street of Waingapu and other big cities. These local eateries mostly owned by Muslim migrants from Java.

However, you are unlikely to find food stalls on the tourist spots. There are only few visitors, thus opening food stalls probably not a profitable business. So bring your own food. It is very time-consuming to go back to the city centre just for lunch.


 

Dealing with poverty in Sumba

Sumba is one of the poorest region in Indonesia where rampant poverty is very visible. In recent years, massif development of tourism infrastructures have been changing Sumba island rapidly. Tourist attractions now can be accessed by ease road. But when you visit local villages, development is still very lacking. Many villagers still don’t have access of clean water and electricity. This situation giving a contrast view of a paradise island as Sumba is marketed.

I have never been met the situation in Indonesia where children begging money from tourists. Unfortunately, this sad situation is happening in Sumba. If you intend to help, giving food, cloths, or stationery is highly advisable. These children even begging money during school time. So by giving them money, you actually discourage them going to school.

Planning A Backpacking Trip to Sumba: Explore Exotic Island on A Budget


Satu hal yang menarik dari istana Bogor adalah kehadiran ratusan rusa totol yang menghuni halamannya. Tapi bukan itu saja yang membuatnya istimewa. Kalau kita melongok bagian dalamnya, istana ini lebih mirip galeri seni dengan ratusan koleksi langka yang sebagian besar dikumpulkan Presiden Soekarno. Jangan kaget kalau sebagian koleksi ini ada yang memamerkan kemolekan tubuh perempuan.

Difasilitasi oleh lembaga sosial Masyarakat Cinta Bogor (MCB), saya mendapat kesempatan untuk melongok bagian dalam istana Bogor dengan ditemani pemandu dari rumah tangga kepresidenan. Peserta tur dibawa menjelajah Istana Bogor selama kurang lebih satu jam, serta  diperlihatkan bagian-bagian penting yang jarang orang tahu.

Mengintip Isi Istana Bogor

Budaya orang Toraja nampaknya begitu lekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan kematian. Selain upacara kematian Rambu Solo yang terkenal itu, orang Toraja juga memiliki tradisi “penguburan” mayat yang tidak biasa. Kata “penguburan” di sini harus diberi tanda kutip karena mayat orang Toraja sebenarnya tidak benar-benar dikubur.

Macam-macam teknik yang dilakukan orang Toraja untuk “menguburkan” mayat. Ada yang yang dimasukkan dalam liang batu, disemayamkan dalam gua, disimpan dalam rumah-rumahan, bahkan juga dibenamkan dalam batang pohon besar. Meskipun ada bermacam-macam teknik “penguburan” yang digunakan, mayat mereka tidak pernah benar-benar berbaur dengan tanah.

Menurut kepercayaan orang Toraja, sisa-sisa tubuh manusia tidak boleh bercampur dengan tanah. Lahan pertanian harus dijaga kemurniannya dari sisa-sisa tubuh manusia supaya terjaga kesuburannya. Meskipun sekarang sebagian besar orang Toraja sudah memeluk agama Kristen, kepercayaan ini masih terus dijaga. Tak pelak lagi, kegiatan jalan-jalan melihat “kuburan” adalah salah satu aktivitas yang paling menarik di Toraja.

Saya bersama Jan, seorang kawan yang berasal dari Belanda, berkesempatan melihat “kuburan” orang Toraja yang tidak biasa itu. Kami juga ditemani Christ, seorang pemandu wisata yang asli anak Toraja. Bukannya mau berlagak jadi turis atau sok bawa-bawa pemandu segala. Kami merasa keberadaan seorang pemandu benar-benar dibutuhkan. Saya dan Jan boleh dikata buta soal budaya Toraja. Tanpa seorang pemandu, kami benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan.

Jadilah, kegiatan kami hari itu diisi dengan tur melihat “kuburan”. Sebagai kegiatan pembuka, kami diajak ke kuburan pohon yang menurut Christ tidak terlalu seram. Nah lho, berarti “kuburan” berikutnya bakal sangat seram? Pembukaannya dipilih yang tidak terlalu seram, lalu diakhiri dengan yang paling seram! Waduh, belum-belum saya sudah merinding duluan!

Saya sangat penasaran, seperti apa bentuk kuburan pohon tersebut. Ternyata, kuburan pohon itu hanya sebuah pohon besar yang batangnya dilubangi. Mayat yang dimasukkan dalam lubang tersebut ditutupi dengan ranting pohon dan semacam jerami. Pelan-pelan, lubang akan menutup sendiri dan mayat bisa menyatu sepenuhnya ke batang pohon. Lubang di pohon tersebut sangat kecil, jadi hanya bisa memuat mayat bayi.

Kuburan pohon
Menurut kepercayaan orang Toraja, semua bayi yang meninggal harus “dikubur” di dalam batang pohon. Batang pohon yang dipilih sebagai “kuburan” adalah jenis tanaman yang menghasilkan banyak getah. Nah, getah pohon ini fungsinya untuk “menyusui” bayi-bayi yang “dikubur” dalam batang pohon tersebut. Oh, ternyata begitu alasannya.

Christ kemudian membawa kami ke jenis “kuburan” lainnya. Kali ini kami dibawa ke muka sebuah tebing batu yang sangat tinggi. Bebatuan di tebing itu dipahat sedemikian rupa untuk menaruh patung-patung kayu. Patung-patung itu katanya dibuat mirip dengan orang-orang yang “dikuburkan” di tebing tersebut. Di bagian yang lebih tinggi, dibuat liang untuk memasukkan mayat.

Letak liang-liang itu sangat tinggi, ini dimaksudkan supaya barang-barang berharga yang ditanam bersama mayat tidak mudah dicuri. Bisa dibayangkan betapa sulitnya pekerja yang harus memahat dinding tebing untuk dijadikan “kuburan”. Namun, tradisi bekal kubur sudah tidak dilakukan lagi. Karena itu, liang-liang kubur yang dibuat belakangan letaknya lebih rendah.

Acara melihat “kuburan” ternyata belum selesai. Kegiatan yang paling menantang justru baru dimulai. Christ kemudian membawa kami ke sebuah gua yang berisi ribuan mayat. Terbayang kan betapa seramnya!

Begitu tahu gua tersebut dipenuhi mayat, Jan langsung menolak ikut. Orang bule ternyata lebih penakut, ha ha... Meskipun awalnya agak ngeri, saya memberanikan diri memasuki gua.

Rupanya ada kesepakatan bahwa pengunjung hanya boleh masuk gua didampingi pemandu yang biasa mangkal di depan gua tersebut. Jadi, pemandu kami Christ tidak boleh ikut masuk. Supaya bisa bagi-bagi rezeki, mungkin begitu maksudnya. Karena Jan juga menolak ikut, akhirnya saya masuk gua yang penuh mayat itu hanya ditemani seorang pemandu.

Mungkin karena sudah terlalu banyak mayat yang disimpan di dalam gua, sebagian peti mati ditumpuk begitu saja di depan mulut gua. Tentu saja pemandangan itu bikin bulu kuduk saya berdiri. Saya tidak melihat deretan peti mati kosong, tapi benar-benar diisi mayat!

Selain dipenuhi peti mati, mulut gua itu juga dihiasi dengan patung-patung kayu seperti yang sebelumnya saya lihat di kuburan tebing. Sebagian patung nampak sangat hidup, seperti patung lilin di Museum Madame Tussaud. Tapi, memandang patung-patung tersebut membuat saya tambah merinding.

Berbekal lampu petromaks sebagai penerang, saya dan pemandu melangkah masuk ke dalam gua. Untungnya ada cukup banyak pengunjung yang sudah berada di dalam gua, jadi suasananya tidak terlalu sepi. Saya juga tidak mencium bau mayat. Aroma yang tercium adalah bau tanah dengan udara yang terasa sangat lembab dan pengap.

Karena lantai gua terasa agak licin dan becek, saya mencoba berpegangan pada dinding gua supaya tidak terpeleset. Tapi alangkah kagetnya saya kemudian. Saya hampir saja menyentuh tengkorak dan tulang-belulang manusia yang disisipkan pada celah-celah di dinding gua! Pemandu malah tertawa melihat saya yang kaget. Ia malah bilang tidak apa-apa menyentuh tengkorak. Asal tidak dibawa ke luar gua, tidak ada pantangannya menyentuh kerangka manusia. Tapi untuk apa sih saya memegang-megang tengkorak orang?

Setelah peti mati lapuk karena termakan usia, kerangka manusia yang ada di dalamnya disusun dalam celah-celah batu pada dinding gua. Jadi jangan heran kalau kita bisa melihat deretan tengkorak dan tulang-belulang yang disusun dengan rapi. Warga lokal juga sering menaruh sesaji di depan tengkorak-tengkorak tersebut. Ada yang menaruh botol air minum kemasan, koin, serta rokok. Entah apa maksudnya, ada pula yang menaruh sebatang rokok di bagian mulut tengkorak! Memangnya orang mati bisa merokok?

Uniknya lagi, kuburan gua ini juga memiliki legenda menarik. Konon, ada sepasang muda-mudi yang bunuh diri di dalam gua karena hubungan mereka tidak direstui orang tuanya. Tengkorak mereka masih bisa disaksikan sampai sekarang. Ini adalah kisah Romeo dan Juliet versi Toraja!

Gua itu sebenarnya cukup dalam, tapi saya menolak masuk ke bagian yang lebih jauh. Rasanya tidak nyaman terlalu lama berada di dalam gua yang penuh sisa-sisa tubuh manusia. Setelah keluar dari gua, Jan dan Christ menyambut saya dengan senyuman lebar. Mereka bilang wajah saya pucat!

Dalam perjalanan pulang ke akomodasi, Christ mendapat telepon dari temannya yang memberi tahu alamat orang yang menyimpan mayat di dalam rumahnya. Bagi yang belum mengerti tradisi Toraja, mungkin akan langsung bergidik mendengarnya. Perlu diketahui, sebelum upacara penguburan Rambu Solo digelar, mayat biasanya disimpan di dalam rumah sampai beberapa tahun! Biaya upacara Rambu Solo sangat mahal, jadi keluarga perlu mengumpulkan uang dulu.

Christ menawarkan kami untuk mengunjungi sebuah keluarga yang menyimpan dua buah mayat sekaligus di dalam rumahnya. Tapi saya dan Jan langsung berkata “tidaaaak!!!!”. Rasanya sudah terlalu banyak "kuburan" dan tengkorak yang kami lihat pada hari itu.

Masuk Gua yang Penuh Tengkorak di Toraja