Beranda

    Social Items

Kota yang hidup! Itulah kesan pertama saya saat melihat Ho Chi Minh City. Teman saya yang menjemput di bandara Tan Son Nhat berkali-kali mengatakan, saya datang ke Ho Chi Minh City di waktu yang tepat, saat musim festival. Saya yang tiba di malam hari langsung merasakan suasana perayaan di kota itu. Seluruh sudut kota nampak bersolek, siap menyambut tahun baru Vietnam yang akan dirayakan beberapa hari lagi.

Sepanjang perjalanan dari bandara menuju rumah teman yang berada di Distrik 1, saya menyaksikan pemandangan yang sangat menarik. Barangkali ini salah satu hal paling fantantis yang pernah saya lihat seumur hidup. Ribuan lampu hias memenuhi hampir semua sudut jalanan utama Ho Chi Minh City.

Kota lain juga melakukan hal yang sama saat merayakan festival besar. Tapi lampu-lampu hias di Ho Chi Minh City dipasang dalam jumlah begitu massif, hampir rata di seluruh sudut kota. Persiapannya saja sudah luar biasa, bagaimana dengan perayaannya sendiri? Saya jadi sangat penasaran, ingin melihat sendiri bagaimana meriahnya perayaan tahun baru Vietnam.

Poster propaganda komunis.
Nongkrong di malam tahun baru di bawah pohon lampu.
Orang Vietnam menyebut tahun baru mereka sebagai “Tet”. Namun, perayaan Tet selalu bertepatan dengan tahun baru Imlek yang lebih kita kenal, jadi hanya namanya saja yang berbeda. Vietnam pernah dijajah oleh Kekaisaran Cina, tak mengherankan kalau kebudayaannya mendapat pengaruh kuat dari Cina. Kalau didengar sekilas, intonasi bahasa Vietnam juga mirip-mirip bahasa Cina. Sepertinya dalam hal bahasa pun, Vietnam mendapat pengaruh kuat dari Cina.

Beberapa hari berada di Ho Chi Minh membuat saya bisa melihat sisi lain kota terbesar di Vietnam itu. Sebagai metropolitan yang baru berkembang, Ho Chi Minh City punya masalah lalu-lintas yang serius. Kemacetannya memang belum separah Jakarta, tapi pengendara kendaraan bermotor di sana tak mengenal lampu merah! Kesemrawutannya benar-benar membuat pusing kepala!

Melongok sejarah Ho Chi Minh City, kota itu sebenarnya belum lama pulih dari luka perang Vietnam yang mencabik-cabik semua sendi kehidupan. Perang Vietnam sama sekali bukan cerita heroik seperti digambarkan dalam film-film Holywood. Masih banyak saksi hidup yang merasakan sendiri kejamnya perang yang panjang itu. Luka itu masih membekas dalam, bisa Anda lihat sendiri di museum-museum dan galeri seni, atau melalui percakapan dengan saksi mata yang bisa dengan mudah Anda temui.

Gadis kecil Vietnam
Ho Chi Minh City tak ubahnya seperti kota-kota di negara berkembang lainnya dengan perkembangan ekonomi yang dinamis. Gedung-gedung pencakar satu-persatu mulai berdiri. Mal dan pusat perbelanjaan terus dibangun, seolah tak mau kalah dengan Bangkok atau Kuala Lumpur yang lebih dulu berkembang. Jumlah kelompok kelas menengah juga meningkat pesat, makin memperbesar jurang perbedaan ekonomi seperti umumnya terlihat di negara-negara berkembang.
Papan reklame raksasa kini muncul dimana-mana, bersaing dengan poster-poster propaganda ala negara komunis. Ho Chi Minh City sedang bergulat mencari identitasnya yang baru. Akankah poster berwarna merah dengan gambar palu arit menjadi tinggal kenangan?

Kini sekadar slogan?
Bitexco Tower, gedung tertinggi di Ho Chi Minh City
Di tengah perubahan yang maha cepat ini, Ho Chi Minh City ternyata masih bisa menunjukkan sisi manusiawinya. Sapaan ramah penduduk lokal, kedai-kedai kopi, pasar tradisional dengan lapak-lapak pedagang kecil yang menawarkan pernak-pernik murah, adalah bukti bahwa kota itu belum kehilangan identitasnya. Semoga saja Ho Chi Minh City tetap seperti itu saat saya berkunjung lagi sepuluh tahun ke depan. Tapi saya mau lalu-lintas di sana menjadi lebih tertib!

BACA JUGA:

Luka Perang, Propaganda Komunis dan Pasar Murah

Kota yang hidup! Itulah kesan pertama saya saat melihat Ho Chi Minh City. Teman saya yang menjemput di bandara Tan Son Nhat berkali-kali mengatakan, saya datang ke Ho Chi Minh City di waktu yang tepat, saat musim festival. Saya yang tiba di malam hari langsung merasakan suasana perayaan di kota itu. Seluruh sudut kota nampak bersolek, siap menyambut tahun baru Vietnam yang akan dirayakan beberapa hari lagi.

Sepanjang perjalanan dari bandara menuju rumah teman yang berada di Distrik 1, saya menyaksikan pemandangan yang sangat menarik. Barangkali ini salah satu hal paling fantantis yang pernah saya lihat seumur hidup. Ribuan lampu hias memenuhi hampir semua sudut jalanan utama Ho Chi Minh City.

Kota lain juga melakukan hal yang sama saat merayakan festival besar. Tapi lampu-lampu hias di Ho Chi Minh City dipasang dalam jumlah begitu massif, hampir rata di seluruh sudut kota. Persiapannya saja sudah luar biasa, bagaimana dengan perayaannya sendiri? Saya jadi sangat penasaran, ingin melihat sendiri bagaimana meriahnya perayaan tahun baru Vietnam.

Poster propaganda komunis.
Nongkrong di malam tahun baru di bawah pohon lampu.
Orang Vietnam menyebut tahun baru mereka sebagai “Tet”. Namun, perayaan Tet selalu bertepatan dengan tahun baru Imlek yang lebih kita kenal, jadi hanya namanya saja yang berbeda. Vietnam pernah dijajah oleh Kekaisaran Cina, tak mengherankan kalau kebudayaannya mendapat pengaruh kuat dari Cina. Kalau didengar sekilas, intonasi bahasa Vietnam juga mirip-mirip bahasa Cina. Sepertinya dalam hal bahasa pun, Vietnam mendapat pengaruh kuat dari Cina.

Beberapa hari berada di Ho Chi Minh membuat saya bisa melihat sisi lain kota terbesar di Vietnam itu. Sebagai metropolitan yang baru berkembang, Ho Chi Minh City punya masalah lalu-lintas yang serius. Kemacetannya memang belum separah Jakarta, tapi pengendara kendaraan bermotor di sana tak mengenal lampu merah! Kesemrawutannya benar-benar membuat pusing kepala!

Melongok sejarah Ho Chi Minh City, kota itu sebenarnya belum lama pulih dari luka perang Vietnam yang mencabik-cabik semua sendi kehidupan. Perang Vietnam sama sekali bukan cerita heroik seperti digambarkan dalam film-film Holywood. Masih banyak saksi hidup yang merasakan sendiri kejamnya perang yang panjang itu. Luka itu masih membekas dalam, bisa Anda lihat sendiri di museum-museum dan galeri seni, atau melalui percakapan dengan saksi mata yang bisa dengan mudah Anda temui.

Gadis kecil Vietnam
Ho Chi Minh City tak ubahnya seperti kota-kota di negara berkembang lainnya dengan perkembangan ekonomi yang dinamis. Gedung-gedung pencakar satu-persatu mulai berdiri. Mal dan pusat perbelanjaan terus dibangun, seolah tak mau kalah dengan Bangkok atau Kuala Lumpur yang lebih dulu berkembang. Jumlah kelompok kelas menengah juga meningkat pesat, makin memperbesar jurang perbedaan ekonomi seperti umumnya terlihat di negara-negara berkembang.
Papan reklame raksasa kini muncul dimana-mana, bersaing dengan poster-poster propaganda ala negara komunis. Ho Chi Minh City sedang bergulat mencari identitasnya yang baru. Akankah poster berwarna merah dengan gambar palu arit menjadi tinggal kenangan?

Kini sekadar slogan?
Bitexco Tower, gedung tertinggi di Ho Chi Minh City
Di tengah perubahan yang maha cepat ini, Ho Chi Minh City ternyata masih bisa menunjukkan sisi manusiawinya. Sapaan ramah penduduk lokal, kedai-kedai kopi, pasar tradisional dengan lapak-lapak pedagang kecil yang menawarkan pernak-pernik murah, adalah bukti bahwa kota itu belum kehilangan identitasnya. Semoga saja Ho Chi Minh City tetap seperti itu saat saya berkunjung lagi sepuluh tahun ke depan. Tapi saya mau lalu-lintas di sana menjadi lebih tertib!

BACA JUGA:

Tidak ada komentar

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...