Beranda

    Social Items

Anggur Sirince
Rasanya ini tak mungkin terjadi di Indonesia atau negara-negara muslim lainnya. Bar dan toko yang menjaul wine, salah satu jenis minuman beralkohol, tepat berada di depan sebuah masjid dengan jarak beberapa belas meter saja. Begitulah Sirince (baca : shi ren jay), sebuah desa muslim berpenduduk 600 jiwa yang berada 8 kilometer di sebelah timur Selcuk, Turki. Mungkin ini bukan cerminan sikap liberal, tapi lebih karena tradisi membuat wine sudah hidup selama ratusan tahun di desa kecil ini.

Hari sudah menjelang petang ketika saya sampai di desa itu. Dari Selcuk, hanya butuh waktu 15 menit saja untuk sampai ke Sirince menggunakan dolmus (minibus). Banyak anak-anak sekolah menumpang dolmus yang sama, jam belajar mereka nampaknya baru saja usai. Banyak pula ibu-ibu yang membawa barang dagangan, sepertinya mereka baru selesai berjualan di pasar Selcuk.

Dalam bahasa Yunani, kata "sirince" berarti nyaman atau cantik. Anehnya, sebelumnya penduduk lokal menamakan desa kecil itu “Cirkince” yang berarti buruk atau jelek. Tentu saja itu sepenuhnya tidak benar. Mereka menamakannya “si buruk” karena tidak mau orang asing sering-sering datang ke situ. Curang sekali, keindahan Sirince mau mereka nikmati sendiri saja!

Persis seperti arti namanya, desa Sirince memang sangat indah. Terletak di lereng gunung dengan pemandangan kebun-kebun anggur, membuatnya nampak berbeda dengan desa-desa lain di Turki. Rumah-rumah antik di sana yang bergaya Yunani masih dilestarikan. Pengaruh Yunani terasa begitu kuat di desa ini. Ini karena sebelum perang kemerdekaan Turki pada 1920-an, Sirince adalah pusat pemukiman orang keturunan Yunani. Konon, mereka adalah bekas budak yang telah dibebaskan.

Akibat perjanjian Lausanne yang ditandatangi pemerintah Turki dan Yunani pada 1923, seluruh warga Yunani di Sirince harus meninggalkan tanah kelahirannya yang sudah ditempati leluhur mereka sejak ratusan tahun lalu. Perjanjian itu mengharuskan semua keturunan Yunani yang bermukim di Turki pindah ke negara Yunani. Demikian pula sebaliknya, keturunan Turki yang yang bermukim di Yunani harus “kembali” ke negara Turki. Perjanjian itu menghasilkan eksodus besar-besaran dan telah mengubah wajah Sirince untuk selamanya.

Desa Sirince yang telah kosong itu kemudian ditempati oleh warga Turki. Orang-orang Turki yang beragama Islam masih meneruskan tradisi Yunani di Sirince, termasuk pembuatan wine yang dianggap budaya non-Muslim. Demikian pula dalam gaya arsitektur bangunan. Meskipun interior bagian dalam sudah disesuaikan dengan tradisi orang Turki, bagian luar bangunan masih dipertahankan ciri khasnya.
Rumah tradisional Sirince
Rumah-rumah itu masih berfungsi sebagai tempat tinggal, sebagian lainnya dijadikan guesthouse dan kafe. Dua buah gereja Kristen Ortodoks yang sempat terlantar selama beberapa dekade, salah satunya telah direstorasi. Kini gereja tersebut telah berfungsi kembali, namun tentu saja pengunjungnya tidak seramai ketika Sirince masih dihuni keturunan Yunani.

Jalanan di Sirince hampir semuanya merupakan jalur setapak sempit yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Di sekitar tempat parkir bus-bus wisata, ada area bazaar kecil yang menjual aneka pakaian, buah kering, kerajinan tangan dan tentu saja wine, minuman beralkohol yang diproduksi di desa itu juga. Penjual wine dengan ramah mempersilahkan wisatawan untuk mencicipi dagangan mereka. Tak ada keharusan membeli setelah mencicipi wine mereka secara gratis.

Salah satu sudut desa Sirince
Kebun anggur di Sirince
Saya baru tahu bahwa wine tidak hanya bisa dibuat dari anggur. Rupanya, wine bisa dibuat dari hampir semua jenis buah-buahan. Di Sirince, ada macam-macam jenis wine yang diperdagangkan. Mulai wine dari buah apricot, cherry, strawberry, bahkan pisang. Saya jadi penasaran dengan wine pisang. Bagaimana ya rasanya?

Sebenarnya, saya berkeinginan mencicipi buah anggur segar yang langsung dipetik dari pohonnya. Berhubung musim dingin baru saja usai, yang saya lihat hanya pohon anggur tanpa daun, seperti tanaman yang setengah mati. Pohon-pohon anggur baru akan berkembang lagi pada pertengahan musim semi. Di musim panas, Sirince pasti kebanjiran buah anggur segar!

Tak terasa, matahari sudah hampir tenggelam. Saya segera bergegas menaiki dolmus terakhir untuk kembali ke Selcuk. Sepanjang perjalanan pulang, kembali pemandangan kebun-kebun menghiasi kanan-kiri jalan. Matahari senja nampak menyelinap di antara ranting-ranting pohon anggur tak berdaun. Romantisnya.....

BACA JUGA:

Sirince, Desa Muslim Penghasil Wine

Anggur Sirince
Rasanya ini tak mungkin terjadi di Indonesia atau negara-negara muslim lainnya. Bar dan toko yang menjaul wine, salah satu jenis minuman beralkohol, tepat berada di depan sebuah masjid dengan jarak beberapa belas meter saja. Begitulah Sirince (baca : shi ren jay), sebuah desa muslim berpenduduk 600 jiwa yang berada 8 kilometer di sebelah timur Selcuk, Turki. Mungkin ini bukan cerminan sikap liberal, tapi lebih karena tradisi membuat wine sudah hidup selama ratusan tahun di desa kecil ini.

Hari sudah menjelang petang ketika saya sampai di desa itu. Dari Selcuk, hanya butuh waktu 15 menit saja untuk sampai ke Sirince menggunakan dolmus (minibus). Banyak anak-anak sekolah menumpang dolmus yang sama, jam belajar mereka nampaknya baru saja usai. Banyak pula ibu-ibu yang membawa barang dagangan, sepertinya mereka baru selesai berjualan di pasar Selcuk.

Dalam bahasa Yunani, kata "sirince" berarti nyaman atau cantik. Anehnya, sebelumnya penduduk lokal menamakan desa kecil itu “Cirkince” yang berarti buruk atau jelek. Tentu saja itu sepenuhnya tidak benar. Mereka menamakannya “si buruk” karena tidak mau orang asing sering-sering datang ke situ. Curang sekali, keindahan Sirince mau mereka nikmati sendiri saja!

Persis seperti arti namanya, desa Sirince memang sangat indah. Terletak di lereng gunung dengan pemandangan kebun-kebun anggur, membuatnya nampak berbeda dengan desa-desa lain di Turki. Rumah-rumah antik di sana yang bergaya Yunani masih dilestarikan. Pengaruh Yunani terasa begitu kuat di desa ini. Ini karena sebelum perang kemerdekaan Turki pada 1920-an, Sirince adalah pusat pemukiman orang keturunan Yunani. Konon, mereka adalah bekas budak yang telah dibebaskan.

Akibat perjanjian Lausanne yang ditandatangi pemerintah Turki dan Yunani pada 1923, seluruh warga Yunani di Sirince harus meninggalkan tanah kelahirannya yang sudah ditempati leluhur mereka sejak ratusan tahun lalu. Perjanjian itu mengharuskan semua keturunan Yunani yang bermukim di Turki pindah ke negara Yunani. Demikian pula sebaliknya, keturunan Turki yang yang bermukim di Yunani harus “kembali” ke negara Turki. Perjanjian itu menghasilkan eksodus besar-besaran dan telah mengubah wajah Sirince untuk selamanya.

Desa Sirince yang telah kosong itu kemudian ditempati oleh warga Turki. Orang-orang Turki yang beragama Islam masih meneruskan tradisi Yunani di Sirince, termasuk pembuatan wine yang dianggap budaya non-Muslim. Demikian pula dalam gaya arsitektur bangunan. Meskipun interior bagian dalam sudah disesuaikan dengan tradisi orang Turki, bagian luar bangunan masih dipertahankan ciri khasnya.
Rumah tradisional Sirince
Rumah-rumah itu masih berfungsi sebagai tempat tinggal, sebagian lainnya dijadikan guesthouse dan kafe. Dua buah gereja Kristen Ortodoks yang sempat terlantar selama beberapa dekade, salah satunya telah direstorasi. Kini gereja tersebut telah berfungsi kembali, namun tentu saja pengunjungnya tidak seramai ketika Sirince masih dihuni keturunan Yunani.

Jalanan di Sirince hampir semuanya merupakan jalur setapak sempit yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Di sekitar tempat parkir bus-bus wisata, ada area bazaar kecil yang menjual aneka pakaian, buah kering, kerajinan tangan dan tentu saja wine, minuman beralkohol yang diproduksi di desa itu juga. Penjual wine dengan ramah mempersilahkan wisatawan untuk mencicipi dagangan mereka. Tak ada keharusan membeli setelah mencicipi wine mereka secara gratis.

Salah satu sudut desa Sirince
Kebun anggur di Sirince
Saya baru tahu bahwa wine tidak hanya bisa dibuat dari anggur. Rupanya, wine bisa dibuat dari hampir semua jenis buah-buahan. Di Sirince, ada macam-macam jenis wine yang diperdagangkan. Mulai wine dari buah apricot, cherry, strawberry, bahkan pisang. Saya jadi penasaran dengan wine pisang. Bagaimana ya rasanya?

Sebenarnya, saya berkeinginan mencicipi buah anggur segar yang langsung dipetik dari pohonnya. Berhubung musim dingin baru saja usai, yang saya lihat hanya pohon anggur tanpa daun, seperti tanaman yang setengah mati. Pohon-pohon anggur baru akan berkembang lagi pada pertengahan musim semi. Di musim panas, Sirince pasti kebanjiran buah anggur segar!

Tak terasa, matahari sudah hampir tenggelam. Saya segera bergegas menaiki dolmus terakhir untuk kembali ke Selcuk. Sepanjang perjalanan pulang, kembali pemandangan kebun-kebun menghiasi kanan-kiri jalan. Matahari senja nampak menyelinap di antara ranting-ranting pohon anggur tak berdaun. Romantisnya.....

BACA JUGA:

Tidak ada komentar

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...