Beranda

    Social Items

Tidak disangka, tulisan saya yang sebenarnya sudah lama dimuat di blog ini mendapat tanggapan yang meriah dari pembaca Kompasiana. Saya memuat kembali tulisan berjudul “Noraknya TKW dari Arab” di media citizen journalism tersebut. Banyak pro dan kontra yang muncul. Sebagian besar merasa keberatan dengan pilihan kata “norak” pada judul tulisan tersebut. Yang cukup mengejutkan, muncul email maupun pesan yang bernada ancaman serta berisi kata-kata kotor.

Padahal, ketika tulisan tersebut pertama kali dimuat di blog ini dan media sosial lainnya, tanggapannya biasa-biasa saja. Blog ini memiliki tautan dari Naked Traveler dan beberapa blog traveler lain yang lebih kondang. Selama ini, pembaca blog saya terbatas hanya kalangan backpacker atau pecinta traveling saja. Ini sangat berbeda dengan komunitas Kompasiana yang memiliki pembaca dari berbagai latar belakang.

Alhasil, muncul berbagai persepsi tentang tulisan tersebut. Dan saya tidak berhadapan dengan tipikal pembaca blog traveler yang barangkali menganggap tulisan TKW norak tersebut sebagai cerita perjalanan biasa. Pembaca Kompasiana cenderung mengaitkannya sebagai isu sosial. Saya juga dianggap melecehkan para TKW gara-gara tulisan itu. Ada juga yang menuduh saya sengaja menggunakan kata-kata bombastis hanya untuk menarik pembaca.

Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu aktif di Kompasiana dan terus terang agak kaget dengan perilaku beberapa anggotanya yang suka menulis komentar bernada nyelekit. Para komentator ini kelihatannya sudah akrab satu sama lain. Mereka menggunakan kolom komentar untuk menyapa satu sama lain layaknya wall di Facebook. Cukup menjengkelkan karena komentar-komentar singkat tersebut akan masuk ke email saya. Yah, mungkin itu resiko menjadi Kompasianer yang tulisannya sedang banyak dibaca.

Menariknya lagi, muncul tulisan lain yang diklaim pembacanya sebagai sanggahan artikel saya. Tapi rasanya jadi aneh, soalnya tulisan saya kan hanya catatan perjalanan. Apakah itu sesuatu yang bisa disanggah? Pengalaman pribadi orang kan bisa macam-macam. Ada yang mungkin merasa nyaman saja terbang bersama TKW. Ada pula yang merasa agak terganggu. Apa salahnya orang yang menuliskan perasaan dan pengalamannya sendiri?

Semua setuju kalau para TKW dianggap pahlawan devisa, telah bekerja keras di luar negeri untuk menghidupi keluarganya, hidupnya sangat menderita, dsb. Namun, apakah jadi tidak boleh menunjukkan kenyataan lain yang tidak berisi kisah hidup mengharu biru para TKW kita? Apakah seorang penulis bisa dicap tidak berempati dengan TKW karena menulis sesuatu yang tidak sama dengan gambaran umum?

Saya menggunakan kata “norak” sebagai ekspresi saja untuk melukiskan suatu hal. Itulah ungkapan jujur saya (dan banyak orang) ketika melihat kenyataan itu. Lagipula, konteks tulisan saya kan tentang TKW yang saya temui di bandara Doha. Kalau artikel tersebut dibaca secara seksama, tidak ada satu kalimatpun yang menyatakan itu sebagai perilaku semua TKW.

Terus terang, saya merasa sebagian Kompasianer tidak memberi apreasiasi yang semestinya terhadap tulisan tersebut. Kelihatan sekali kalau ada yang sekedar memberi komentar tanpa membacanya secara lengkap. Saya menulis tentang ini, dan dia berkomentar tentang itu. Nggak nyambung!

Ada pula yang keberatan karena saya menyebut-nyebut Habib Rizieq dalam artikel tersebut. Orang yang tidak membaca dengan seksama pasti bertanya, apa hubungan cerita perjalanannya ini dengan Habib Rizieq? Padahal, saya hanya ingin memberi gambaran lebih jelas kepada pembaca tentang penampilan seseorang yang disebutkan di artikel tersebut. Saya cukup bilang pakaian orang tersebut mirip Habib Rizieq karena dia sering muncul di TV, daripada harus menggambarkan dengan detail bajunya seperti apa, jenggotnya berapa senti, dsb. Saya tak habis pikir kalau itu jadi dianggap menyinggung pihak tertentu.

Tapi, saya tetap ingin minta maaf kalau ada yang merasa tersinggung atau dilecehkan karena tulisan tersebut. Sungguh, artikel tersebut tidak dimaksudkan untuk merendahkan siapapun. Meskipun begitu, kata “norak” pada judul tulisan tidak akan diganti. Saya tidak akan mengganti judulnya yang mungkin dianggap lebih sopan seperti misalnya “Perilaku Tidak Pantas TKW dari Arab”. Alasannya seperti yang sudah dijelaskan di atas dan pilihan kata itu adalah ekspresi penulis. Saya kira pembaca juga harus menghargai hal ini.

Oh ya, bagian terakhir artikel “Noraknya TKW dari Arab” belum dimuat, jadi tidak fair juga kalau Anda menilainya sebelum membacanya sampai tamat. Benang merah cerita tentunya ada di ujung artikel. Kalau masih tertarik ingin membacanya, pantau terus isi blog ini!

“Dihajar” Kompasianer Gara-gara Artikel TKW Norak

Tidak disangka, tulisan saya yang sebenarnya sudah lama dimuat di blog ini mendapat tanggapan yang meriah dari pembaca Kompasiana. Saya memuat kembali tulisan berjudul “Noraknya TKW dari Arab” di media citizen journalism tersebut. Banyak pro dan kontra yang muncul. Sebagian besar merasa keberatan dengan pilihan kata “norak” pada judul tulisan tersebut. Yang cukup mengejutkan, muncul email maupun pesan yang bernada ancaman serta berisi kata-kata kotor.

Padahal, ketika tulisan tersebut pertama kali dimuat di blog ini dan media sosial lainnya, tanggapannya biasa-biasa saja. Blog ini memiliki tautan dari Naked Traveler dan beberapa blog traveler lain yang lebih kondang. Selama ini, pembaca blog saya terbatas hanya kalangan backpacker atau pecinta traveling saja. Ini sangat berbeda dengan komunitas Kompasiana yang memiliki pembaca dari berbagai latar belakang.

Alhasil, muncul berbagai persepsi tentang tulisan tersebut. Dan saya tidak berhadapan dengan tipikal pembaca blog traveler yang barangkali menganggap tulisan TKW norak tersebut sebagai cerita perjalanan biasa. Pembaca Kompasiana cenderung mengaitkannya sebagai isu sosial. Saya juga dianggap melecehkan para TKW gara-gara tulisan itu. Ada juga yang menuduh saya sengaja menggunakan kata-kata bombastis hanya untuk menarik pembaca.

Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu aktif di Kompasiana dan terus terang agak kaget dengan perilaku beberapa anggotanya yang suka menulis komentar bernada nyelekit. Para komentator ini kelihatannya sudah akrab satu sama lain. Mereka menggunakan kolom komentar untuk menyapa satu sama lain layaknya wall di Facebook. Cukup menjengkelkan karena komentar-komentar singkat tersebut akan masuk ke email saya. Yah, mungkin itu resiko menjadi Kompasianer yang tulisannya sedang banyak dibaca.

Menariknya lagi, muncul tulisan lain yang diklaim pembacanya sebagai sanggahan artikel saya. Tapi rasanya jadi aneh, soalnya tulisan saya kan hanya catatan perjalanan. Apakah itu sesuatu yang bisa disanggah? Pengalaman pribadi orang kan bisa macam-macam. Ada yang mungkin merasa nyaman saja terbang bersama TKW. Ada pula yang merasa agak terganggu. Apa salahnya orang yang menuliskan perasaan dan pengalamannya sendiri?

Semua setuju kalau para TKW dianggap pahlawan devisa, telah bekerja keras di luar negeri untuk menghidupi keluarganya, hidupnya sangat menderita, dsb. Namun, apakah jadi tidak boleh menunjukkan kenyataan lain yang tidak berisi kisah hidup mengharu biru para TKW kita? Apakah seorang penulis bisa dicap tidak berempati dengan TKW karena menulis sesuatu yang tidak sama dengan gambaran umum?

Saya menggunakan kata “norak” sebagai ekspresi saja untuk melukiskan suatu hal. Itulah ungkapan jujur saya (dan banyak orang) ketika melihat kenyataan itu. Lagipula, konteks tulisan saya kan tentang TKW yang saya temui di bandara Doha. Kalau artikel tersebut dibaca secara seksama, tidak ada satu kalimatpun yang menyatakan itu sebagai perilaku semua TKW.

Terus terang, saya merasa sebagian Kompasianer tidak memberi apreasiasi yang semestinya terhadap tulisan tersebut. Kelihatan sekali kalau ada yang sekedar memberi komentar tanpa membacanya secara lengkap. Saya menulis tentang ini, dan dia berkomentar tentang itu. Nggak nyambung!

Ada pula yang keberatan karena saya menyebut-nyebut Habib Rizieq dalam artikel tersebut. Orang yang tidak membaca dengan seksama pasti bertanya, apa hubungan cerita perjalanannya ini dengan Habib Rizieq? Padahal, saya hanya ingin memberi gambaran lebih jelas kepada pembaca tentang penampilan seseorang yang disebutkan di artikel tersebut. Saya cukup bilang pakaian orang tersebut mirip Habib Rizieq karena dia sering muncul di TV, daripada harus menggambarkan dengan detail bajunya seperti apa, jenggotnya berapa senti, dsb. Saya tak habis pikir kalau itu jadi dianggap menyinggung pihak tertentu.

Tapi, saya tetap ingin minta maaf kalau ada yang merasa tersinggung atau dilecehkan karena tulisan tersebut. Sungguh, artikel tersebut tidak dimaksudkan untuk merendahkan siapapun. Meskipun begitu, kata “norak” pada judul tulisan tidak akan diganti. Saya tidak akan mengganti judulnya yang mungkin dianggap lebih sopan seperti misalnya “Perilaku Tidak Pantas TKW dari Arab”. Alasannya seperti yang sudah dijelaskan di atas dan pilihan kata itu adalah ekspresi penulis. Saya kira pembaca juga harus menghargai hal ini.

Oh ya, bagian terakhir artikel “Noraknya TKW dari Arab” belum dimuat, jadi tidak fair juga kalau Anda menilainya sebelum membacanya sampai tamat. Benang merah cerita tentunya ada di ujung artikel. Kalau masih tertarik ingin membacanya, pantau terus isi blog ini!

Tidak ada komentar

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...