Meski ada komunitas di Indonesia juga melangsungkan upacara kremasi, saya tak pernah melihat langsung praktik ini. Umat Hindu di Bali contohnya, mereka juga mengadakan upacara pembakaran jenazah yang disebut ngaben. Tradisi ini memang lekat dengan penganut Hindu dan Buddha, meski ada sebagian kecil pemeluk Kristen melakukannya pula. Sementara dalam tradisi Islam yang dianut mayoritas orang Indonesia, membakar jenazah dilarang sama sekali.
Karena cukup asing dengan tradisi pembakaran jenazah ini, atau lebih tepatnya tak memahami filosofi praktik ini, saya tak pernah tertarik melihatnya secara langsung. Membayangkan tubuh manusia dijilat api saja sudah membuat saya bergidik, apalagi melihatnya secara spontan. Tetapi bagaimana kalau secara tak sengaja saya melihat upacara ini? Itulah yang terjadi saat saya mengunjungi Kuil Pasupatinath di Kathmandu.
Bagi penganut Hindu di Nepal, Kuil Pasupatinath yang terletak di sebelah tenggara kota Kathmandu itu adalah salah satu tempat suci yang paling penting. Kuil ini dibangun untuk memuja Dewa Siwa, yang dalam kepercayaan Hindu dianggap sebagai dewa pelebur. Sang Dewa Siwa bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana ini, sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Merujuk pada kepercayaan Hindu tentang Dewa Siwa ini, rasanya bisa dipahami mengapa Kuil Pasupatinath dipakai sebagai tempat kremasi.
Untuk mencapai tempat ini dari kawasan Thamel di pusat kota Kathmandu, saya menumpang bus kota yang bertarif 15 rupee, atau sekitar Rp 2 ribu saja. Kita bisa menyetop bus dari Jamal Street yang tak jauh dari Thamel, lalu turun di Gaushala Chowk. Dari perempatan Gaushala Chowk, kita masih harus berjalan kaki lagi selama kurang lebih 15 menit untuk mencapai Pasupatinath Temple. Hal yang agak merepotkan, bus kota di Nepal tak diberi tanda jalur. Tapi bilang saja ke kernek bus tujuan kita ke Gaushala Chowk, mereka pasti akan langsung mengerti.
Kuil Pasupatinath mulai dibangun pada abad ke-5, jadi umur situs suci umat Hindu ini sudah tua sekali. Gempa bumi yang terjadi pada 2015 lalu juga menyebabkan kerusakan di situs berharga ini, namun dampaknya tak begitu parah seperti yang dialami Kathmandu Durbar Square atau Patan Durbar Square . Kuil Pasupatinath sudah masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO. Tempat ini dianggap layak masuk daftar tersebut bukan hanya karena arsitekturnya, tetapi juga karena fungsinya sebagai pusat kegiatan religi umat Hindu Nepal.
Sebagai pusat ritual penting, setiap hari Kuil Pasupatinath ramai dikunjungi oleh peziarah. Keramaian ini sudah terlihat sejak di area sekitar kuil, di mana para peziarah duduk secara berkelompok menunggu giliran masuk. Beberapa keluarga nampak duduk berkumpul, menggelar tikar di tanah sambil menyantap makanan bekal. Nampaknya banyak yang berasal dari luar Kathmandu karena membawa bekal makanan segala.
Area sekitar gerbang masuk ke kuil dipenuhi dengan lapak-lapak penjual aneka kembang dan puja, perlengkapan sembahyang umat Hindu. Untuk melewati gerbang ini, pengunjung harus sedikit berdesak-desakan. Di sebelah kanan gerbang, sebenarnya ada konter tiket untuk turis asing. Tapi lagi-lagi saya lolos masuk tanpa perlu membayar tiket, lalu langsung ngeloyor ke bagian dalam dengan berpura-pura jadi orang lokal. Tiket masuknya sendiri lumayan mahal, yakni 1000 rupee atau sekitar USD 10.
Kompleks Kuil Pasupatinath terdiri dari beberapa bangunan besar yang didominasi bentuk pagoda. Saya sempat mengalami disorientasi saat berada di dalam kopleks kuil ini karena ramainya pengunjung. Bahkan saya hampir saja masuk ke dalam sebuah bangunan kuil yang sepenuhnya terlarang untuk non Hindu. Untung saja saya cepat menyadarinya. Tak terbayangkan kalau saya benar-benar masuk, lalu jadi bingung mengikuti ritual yang sedang berlangsung.
Satu hal yang begitu menyolok mata adalah area di dalam Kuil Pasupatinath ini sangat kotor. Peziarah yang selesai bersembahyang membuang begitu saja kembang yang sudah mereka gunakan. Belum lagi sisa-sisa bungkus makanan, dicampakkan dengan dengan seenaknya di dalam area situs suci ini. Tempat lain yang juga ramai dikunjungi seperti Kathmandu Durbar Square kondisinya tak sekotor itu. Hal ini perlu jadi perhatian serius pemerintah Nepal, jangan sampai situs umat Hindu yang penting ini rusak reputasinya karena sampah.
Menghindar dari kerumunan, saya berjalan mengikuti jalur setapak menuju sungai kecil di bagian belakang kompleks kuil. Arah jalur setapak ini makin mendekati sumber asap tebal yang sudah saya lihat dari kejauhan. Sampai di sini, saya belum ngeh kalau asap tebal itu berasal dari upacara kremasi. Sampai kemudian mulai tercium bau-bauan asing yang belum pernah terhirup oleh indera penciuman saya sebelumnya. Naifnya, saya masih belum tahu juga kalau bau-bauan itu berasal dari pembakaran jenazah!
Kompleks Kuil Pasupatinath ternyata dibelah oleh Sungai Bagmati dan dihubungkan oleh sebuah jembatan kecil yang menyambung kedua bagiannya. Setelah menyeberangi jembatan kecil itu, barulah saya sadar bahwa saya tengah berada di upacara kremasi. Saya memang sudah membaca ulasan mengenai Kuil Pasupatinath di buku-buku panduan perjalanan. Dan juga sudah tahu kalau kuil itu dipakai untuk upacara kremasi. Namun saya tidak menyangka kalau upacara tersebut berlangsung di tempat terbuka dan bisa disaksikan khalayak ramai.
Di depan saya, ada puluhan orang tengah berdiri bergerombol. Mereka yang terdiri dari turis asing maupun orang lokal itu sedang menyaksikan ritual meminumkan air suci pada orang yang sudah meninggal. Saya segera bergabung dengan kumpulan orang-orang itu, ikut terpana dengan apa yang sedang saya lihat. Ritual ini diwarnai jerit tangis sanak keluarga yang ditinggal, membuat orang yang melihatnya jadi ikut larut dalam kesedihan. Begitu berdukanya para sanak keluarga itu, setelah meminumkan air suci ke jenazah, ada yang sampai harus digendong karena tak kuat menahan kesedihan.
Menurut kepercayaan Hindu setempat, sebelum upacara kremasi dilangsungkan, jenazah terlebih dahulu direndam kakinya di Sungai Bagmati serta diminumkan air dari sungai tersebut. Bagi penganut Hindu di Nepal, Sungai Bagmati dianggap suci, sama halnya seperti umat Hindu di India memandang Sungai Gangga. Sungai Bagmati pada akhirnya juga menyatu dengan Sungai Gangga di wilayah India.
Setelah ritual meminumkan air suci selesai, jenazah diusung dengan tandu untuk diletakkan pada ghat, yakni tempat khusus di pinggiran Sungai Bagmati yang disiapkan sebagai tempat kremasi. Jenazah kemudian diletakkan pada onggokan kayu dengan muka tetap pada posisi terbuka menghadap langit. Setelah mengelilingi jenazah searah jarum jam sebanyak tiga kali, anak lelaki tertua akan mulai menyulut api. Menurut tradisi, api harus diletakkan pada bagian kepala jenazah. Penganut Hindu percaya, ruh manusia itu terletak di bagian kepala. Itulah sebabnya, bagian kepala yang pertama kali harus dibakar untuk melepaskan jiwa dari jasadnya.
Secara perlahan, api akan mulai membesar. Petugas dari kuil biasanya akan meletakkan jerami supaya tubuh jenazah yang sedang dijilat api tak sampai terlihat khalayak. Namun bagian kaki jenazah seringkali masih dibiarkan terlihat, dan pemandangan ini bisa membuat orang yang tak biasa melihatnya bisa merinding. Anggota keluarga yang berduka harus menunggu beberapa jam sampai upacara kremasi selesai. Sisa-sisa pembakaran jenazah lalu dilarung di Sungai Bagmati.
Pada hari itu, setidaknya ada enam jenazah yang dikremasikan di tempat terbuka. Jadi bisa dibayangkan, betapa tebalnya asap yang dihasilkan dari ritual ini. Pemandangan ini terus terang membuat emosi tegang. Untuk mengendurkan syaraf, saya berjalan-jalan sebentar ke bagian belakang kompleks Kuil Pasupatinath yang dipenuhi stupa kecil. Konon, stupa-stupa ini menjadi kuburan orang suci yang dahulu pernah tinggal di Kuil Pasupatinath. Orang suci tak dikremasikan, tapi dikubur dalam posisi meditasi. Mereka dianggap akan langsung menuju nirwana, tak lahir kembali atau menjalani reinkarnasi seperti orang biasa.
Di sekitar stupa ini juga banyak berdiam sadhu, yakni pertapa Hindu yang sudah memisahkan dirinya dengan kehidupan duniawi. Mereka berpakaian khusus yang gampang dikenali, yakni pakaian khas pertapa yang berwarna jingga atau putih. Meski katanya sudah memisahkan diri dengan kehidupan duniawi, ada beberapa sadhu yang tak segan meminta uang pada turis. Perilaku ini tentunya bisa menunjukkan tingkat kesalehan mereka, mana yang benar-benar sahdu dan mana yang bukan.
Ritual pembakaran jenazah tentunya bukanlah hal yang mudah untuk dilihat oleh orang asing yang tak dekat dengan tradisi ini. Jadi kalau tak siap mental, tak perlu memaksakan diri untuk melihatnya. Namun perlu diketahui, orang Nepal menganggap ritual ini hal yang lazim saja.
Mereka juga punya tradisi unik, yakni makan-makan di dekat tempat pembakaran jenazah untuk mengenang orang tercinta yang pernah dikremasikan di tempat itu. Saya bahkan sempat melihat sendiri, ada keluarga sedang makan-makan di dekat upacara kremasi yang tengah berlangsung! Anda dan saya mungkin tak sanggung melakukannya. Tapi, acara makan-makan bukankah cara yang indah untuk mengenang orang yang sudah tiada?
Baca juga:
Seberapa Murah Biaya Jalan-jalan ke Nepal?
Kiat Treking di Nepal dengan Biaya Irit
Mendapatkan Visa Iran itu Gampang!
Karena cukup asing dengan tradisi pembakaran jenazah ini, atau lebih tepatnya tak memahami filosofi praktik ini, saya tak pernah tertarik melihatnya secara langsung. Membayangkan tubuh manusia dijilat api saja sudah membuat saya bergidik, apalagi melihatnya secara spontan. Tetapi bagaimana kalau secara tak sengaja saya melihat upacara ini? Itulah yang terjadi saat saya mengunjungi Kuil Pasupatinath di Kathmandu.
Bagi penganut Hindu di Nepal, Kuil Pasupatinath yang terletak di sebelah tenggara kota Kathmandu itu adalah salah satu tempat suci yang paling penting. Kuil ini dibangun untuk memuja Dewa Siwa, yang dalam kepercayaan Hindu dianggap sebagai dewa pelebur. Sang Dewa Siwa bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana ini, sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Merujuk pada kepercayaan Hindu tentang Dewa Siwa ini, rasanya bisa dipahami mengapa Kuil Pasupatinath dipakai sebagai tempat kremasi.
Untuk mencapai tempat ini dari kawasan Thamel di pusat kota Kathmandu, saya menumpang bus kota yang bertarif 15 rupee, atau sekitar Rp 2 ribu saja. Kita bisa menyetop bus dari Jamal Street yang tak jauh dari Thamel, lalu turun di Gaushala Chowk. Dari perempatan Gaushala Chowk, kita masih harus berjalan kaki lagi selama kurang lebih 15 menit untuk mencapai Pasupatinath Temple. Hal yang agak merepotkan, bus kota di Nepal tak diberi tanda jalur. Tapi bilang saja ke kernek bus tujuan kita ke Gaushala Chowk, mereka pasti akan langsung mengerti.
Panorama Kuil Pasupatinath yang dipenuhi stupa |
Sebagai pusat ritual penting, setiap hari Kuil Pasupatinath ramai dikunjungi oleh peziarah. Keramaian ini sudah terlihat sejak di area sekitar kuil, di mana para peziarah duduk secara berkelompok menunggu giliran masuk. Beberapa keluarga nampak duduk berkumpul, menggelar tikar di tanah sambil menyantap makanan bekal. Nampaknya banyak yang berasal dari luar Kathmandu karena membawa bekal makanan segala.
Area sekitar gerbang masuk ke kuil dipenuhi dengan lapak-lapak penjual aneka kembang dan puja, perlengkapan sembahyang umat Hindu. Untuk melewati gerbang ini, pengunjung harus sedikit berdesak-desakan. Di sebelah kanan gerbang, sebenarnya ada konter tiket untuk turis asing. Tapi lagi-lagi saya lolos masuk tanpa perlu membayar tiket, lalu langsung ngeloyor ke bagian dalam dengan berpura-pura jadi orang lokal. Tiket masuknya sendiri lumayan mahal, yakni 1000 rupee atau sekitar USD 10.
Kompleks Kuil Pasupatinath terdiri dari beberapa bangunan besar yang didominasi bentuk pagoda. Saya sempat mengalami disorientasi saat berada di dalam kopleks kuil ini karena ramainya pengunjung. Bahkan saya hampir saja masuk ke dalam sebuah bangunan kuil yang sepenuhnya terlarang untuk non Hindu. Untung saja saya cepat menyadarinya. Tak terbayangkan kalau saya benar-benar masuk, lalu jadi bingung mengikuti ritual yang sedang berlangsung.
Satu hal yang begitu menyolok mata adalah area di dalam Kuil Pasupatinath ini sangat kotor. Peziarah yang selesai bersembahyang membuang begitu saja kembang yang sudah mereka gunakan. Belum lagi sisa-sisa bungkus makanan, dicampakkan dengan dengan seenaknya di dalam area situs suci ini. Tempat lain yang juga ramai dikunjungi seperti Kathmandu Durbar Square kondisinya tak sekotor itu. Hal ini perlu jadi perhatian serius pemerintah Nepal, jangan sampai situs umat Hindu yang penting ini rusak reputasinya karena sampah.
Menghindar dari kerumunan, saya berjalan mengikuti jalur setapak menuju sungai kecil di bagian belakang kompleks kuil. Arah jalur setapak ini makin mendekati sumber asap tebal yang sudah saya lihat dari kejauhan. Sampai di sini, saya belum ngeh kalau asap tebal itu berasal dari upacara kremasi. Sampai kemudian mulai tercium bau-bauan asing yang belum pernah terhirup oleh indera penciuman saya sebelumnya. Naifnya, saya masih belum tahu juga kalau bau-bauan itu berasal dari pembakaran jenazah!
Kompleks Kuil Pasupatinath ternyata dibelah oleh Sungai Bagmati dan dihubungkan oleh sebuah jembatan kecil yang menyambung kedua bagiannya. Setelah menyeberangi jembatan kecil itu, barulah saya sadar bahwa saya tengah berada di upacara kremasi. Saya memang sudah membaca ulasan mengenai Kuil Pasupatinath di buku-buku panduan perjalanan. Dan juga sudah tahu kalau kuil itu dipakai untuk upacara kremasi. Namun saya tidak menyangka kalau upacara tersebut berlangsung di tempat terbuka dan bisa disaksikan khalayak ramai.
Upacara meminumkan jenazah dengan air suci |
Menurut kepercayaan Hindu setempat, sebelum upacara kremasi dilangsungkan, jenazah terlebih dahulu direndam kakinya di Sungai Bagmati serta diminumkan air dari sungai tersebut. Bagi penganut Hindu di Nepal, Sungai Bagmati dianggap suci, sama halnya seperti umat Hindu di India memandang Sungai Gangga. Sungai Bagmati pada akhirnya juga menyatu dengan Sungai Gangga di wilayah India.
Setelah ritual meminumkan air suci selesai, jenazah diusung dengan tandu untuk diletakkan pada ghat, yakni tempat khusus di pinggiran Sungai Bagmati yang disiapkan sebagai tempat kremasi. Jenazah kemudian diletakkan pada onggokan kayu dengan muka tetap pada posisi terbuka menghadap langit. Setelah mengelilingi jenazah searah jarum jam sebanyak tiga kali, anak lelaki tertua akan mulai menyulut api. Menurut tradisi, api harus diletakkan pada bagian kepala jenazah. Penganut Hindu percaya, ruh manusia itu terletak di bagian kepala. Itulah sebabnya, bagian kepala yang pertama kali harus dibakar untuk melepaskan jiwa dari jasadnya.
Pada hari itu, setidaknya ada enam jenazah yang dikremasikan di tempat terbuka. Jadi bisa dibayangkan, betapa tebalnya asap yang dihasilkan dari ritual ini. Pemandangan ini terus terang membuat emosi tegang. Untuk mengendurkan syaraf, saya berjalan-jalan sebentar ke bagian belakang kompleks Kuil Pasupatinath yang dipenuhi stupa kecil. Konon, stupa-stupa ini menjadi kuburan orang suci yang dahulu pernah tinggal di Kuil Pasupatinath. Orang suci tak dikremasikan, tapi dikubur dalam posisi meditasi. Mereka dianggap akan langsung menuju nirwana, tak lahir kembali atau menjalani reinkarnasi seperti orang biasa.
Di sekitar stupa ini juga banyak berdiam sadhu, yakni pertapa Hindu yang sudah memisahkan dirinya dengan kehidupan duniawi. Mereka berpakaian khusus yang gampang dikenali, yakni pakaian khas pertapa yang berwarna jingga atau putih. Meski katanya sudah memisahkan diri dengan kehidupan duniawi, ada beberapa sadhu yang tak segan meminta uang pada turis. Perilaku ini tentunya bisa menunjukkan tingkat kesalehan mereka, mana yang benar-benar sahdu dan mana yang bukan.
Mereka juga punya tradisi unik, yakni makan-makan di dekat tempat pembakaran jenazah untuk mengenang orang tercinta yang pernah dikremasikan di tempat itu. Saya bahkan sempat melihat sendiri, ada keluarga sedang makan-makan di dekat upacara kremasi yang tengah berlangsung! Anda dan saya mungkin tak sanggung melakukannya. Tapi, acara makan-makan bukankah cara yang indah untuk mengenang orang yang sudah tiada?
Baca juga:
Seberapa Murah Biaya Jalan-jalan ke Nepal?
Kiat Treking di Nepal dengan Biaya Irit
Mendapatkan Visa Iran itu Gampang!
Engga ada foto pas proses kremasinya om?
BalasHapusEnggak tega difoto. Enggak etis juga, soalnya saat mayat dibakar kadang tulang jenazah bisa terlihat.
HapusSaya mau tanya pak, apakah dilokasi itu juga ada pemakaman langit seperti di tibet?
BalasHapusKarena menurut saya itu lebih sadis & serem juga mengenai tata upacara nya.
Gak ada, semuanya dikremasi.
Hapus