Beranda

    Social Items

Tak lama setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW membangun sebuah masjid yang dahulu berwujud sangat sederhana. Bangunannya tak beratap dengan dinding yang hanya terbuat dari lumpur. Meski begitu, Sang Nabi sangat mencintai masjid ini sehingga sering menyebutnya sebagai “Masjidku...” Sebutan itu terus dipakai sampai sekarang, yakni Al-Masjid al-Nabawi yang artinya Masjid Sang Nabi.
Mengunjungi Masjid Nabawi di Madinah memang bukan bagian dari ritual haji dan umrah. Namun karena keberadaannya sangat penting dalam sejarah perkembangan Islam, hampir semua jemaah tak melewatkannya. Pendek kata, ibadah haji atau umrah terasa kurang lengkap tanpa berziarah ke Masjid Nabawi.

Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Masjid Nabawi. Saat kunjungan pertama saya ikut paket tur, tapi untuk kunjungan ulangan ini saya memilih berangkat sendiri menggunakan bus umum. Karena sekarang saya tinggal dan bekerja di Jeddah, perjalanan mandiri ke Madinah bukan lagi perkara sulit. Bus menuju Madinah berangkat hampir setiap jam dari Jeddah dengan ongkos cukup terjangkau pula.

Waktu tempuh Jeddah-Madinah memakan waktu sekitar 5 jam menggunakan bus, tarifnya 60 riyal (sekitar Rp160 ribu) untuk bus VIP. Saya memilih perjalanan siang hari supaya bisa melihat pemandangan dengan jelas. Maklum, setelah beberapa bulan tinggal di Jeddah dan Riyadh, saya cukup penasaran untuk melihat bagian lain Arab Saudi di luar kota Jeddah yang saya tinggali sekarang.

Seperti negara-negara Teluk lainnya, kondisi jalan raya di Arab Saudi sangat bagus. Perjalanan Jeddah-Madinah melalui jalan yang sangat mulus, tak ada macet seperti di Indonesia. Sayangnya, budaya mengemudi masih sangat buruk sehingga sering terjadi kecelakaan lalu lintas. Saya sendiri sering geleng-geleng kepala melihat nekatnya pengendara di sini. Mobil yang ringsek sudah jadi pemandangan biasa. Pokoknya asal masih bisa jalan, mobil tersebut akan terus dipakai.

Begitulah, jalanan di Arab Saudi suka bikin saya ngeri sendiri. Dan benar saja, tak sampai satu jam bus meninggalkan terminal Jeddah, saya sudah melihat kejadian yang mengenaskan. Sebuah mobil sedan hitam terlihat dalam kondisi terbalik di pinggir jalan. Tak lama kemudian ada ambulan datang, nampaknya kecelakaan itu baru saja terjadi. Astaghfirullah...

Hanya gurun gersang yang terlihat sepanjang perjalanan

Bus yang kami tumpangi juga berhenti di tengah gurun
Panorama sepanjang jalan Jeddah-Madinah ternyata cukup membosankan dan saya juga tak punya teman ngobrol karena penumpang bus sangat sedikit. Pemandangan yang terlihat hanya padang pasir kering dan sesekali ada bukit-bukit batu yang tidak terlalu menarik. Ini sangat berbeda dengan jalanan Riyadh-Jeddah yang menawarkan panorama memikat berupa bukit-bukit batu yang spektakuler setelah kita melewati kota Taif dan Mekkah.

Namun saya segera mengingat perjalanan panjang yang ditempuh Rasulullah bersama para sahabat saat hijrah dari Mekkah ke Madinah. Mereka hanya naik unta, atau bahkan hanya jalan kaki di kawasan yang sangat gersang itu. Kebosanan saya tidak ada apa-apanya dibanding beratnya perjalanan yang mereka lalui.

Di tengah perjalanan, bus berhenti sekali di sebuah toko untuk istirahat dan salat. Seperti pengalaman perjalanan dengan bus terdahalu, toilet di dekat masjid ternyata lumayan jorok. Bau pesing menguap ke mana-mana, bahkan ada kotoran manusia masih tertinggal di lubang kloset. Harap diketahui saja, kondisi sebagian toilet umum di Arab Saudi memang seperti itu. Jadi kalau Anda juga berkesempatan mengalami perjalanan yang sama, sebaiknya gunakan toilet bus yang biasanya lebih bersih.

Salah satu sudut kota Madinah
Setelah kurang lebih 5 jam mengarungi lautan gurun pasir, akhirnya saya sampai di kota suci Madinah. Seperti kota-kota lainnya di Arab Saudi, bangunan-bangunan baru di Madinah tidak menarik dan kurang memiliki karakter. Masjid Nabawi yang harusnya menjadi tengara kota itu seperti tenggelam di antara gedung-gedung tinggi yang mengelilinya. Untungnya, kondisi lingkungan masih cukup bersih dan teratur, relatif lebih baik dibanding kota Mekkah.

Dari terminal bus Madinah, saya cukup berjalan kaki selama 15 menit untuk mencapai Masjid Nabawi. Di sepanjang jalan menuju masjid, ada banyak orang yang menawarkan kamar. Kalau Anda melakukan perjalanan mandiri, mungkin bisa memanfaatkan jasa mereka untuk mendapatkan kamar yang sesuai bujet. Di luar musim haji dan umrah Ramadan, tarif kamar di Madinah ternyata cukup murah.

Saat iseng tanya berapa tarif kamar termurah, harganya ternyata mulai 100 riyal saja (sekitar Rp260 ribu) per malam. Kalau mau lebih murah lagi, sang calo juga menawarkan berbagi kamar dengan orang lain (sharing room) dengan membayar 50 riyal saja (sekitar Rp130 ribu). Namun saya mengabaikan tawaran tersebut karena memang tak ada rencana menginap di madinah. Setelah berziarah ke Masjid Nabawi, saya mau langsung pulang ke Jeddah.

Di awal bulan Syawal ini, pengunjung Masjid Nabawi kebanyakan warga lokal. Musim ramai jemaah umrah dari luar negeri saat Ramadan lalu baru saja usai. Suasananya cukup lengang, menciptakan perasaan damai saat kita mengunjunginya.

ar-Rawdah yang berkubah hijau, di dalamnya terdapat makam Nabi Muhammad SAW

Pintu masuk menuju ar-Rawdah
Setelah mengambil wudhu, saya langsung masuk ke bagian paling penting di Masjid Nabawi yang disebut ar-Rawdah. Di bangunan berkubah hijau ini terletak makam Nabi Muhammad SAW, Khalifah Abu Bakar dan Umar. Di samping makam Rasulullah ini ada pula bagian yang dibiarkan kosong yang kelak akan menjadi kuburan Isa Al Masih. Menurut riwayat, kelak di akhir zaman Isa Al Masih akan turun ke bumi, lalu setelah meninggal ia dikuburkan di samping makan Rasulullah.

Letak ar-Rawdah ini dahulu adalah rumah Nabi Muhammad SAW serta menjadi lokasi Masjid Nabawi yang pertama kali dibangun. Saat musim haji atau umrah Ramadan, agak sulit memasukinya karena jumlah jemaah yang membludak. Namun kalau kondisinya memungkinkan, sempatkan untuk salat di dalam ar-Rawdah karena ada banyak keutamaannya. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah pernah meriwatkan bahwa bagian antara rumah dan mimbar masjidnya adalah potongan surga.

Saya mungkin tidak terkesan dengan kota Madinah yang dipadati gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan dan hotel-hotel mewah. Namun saya bahagia karena berhasil menjejakkan kaki di ar-Rawdah, potongan surga yang ada di bumi.....

Baca juga cerita berikutnya tentang kesan saya saat mengunjungi kota suci Mekkah. Bookmark halaman blog ini supaya tidak kelupaan, he he... Ditunggu ya, mudah-mudahan segera ada waktu untuk menulisnya.

Baca juga:
Serunya Naik Bus di Turki
Dubai, Keajaiban di Tengah Gurun
Lautan Jilbab di Negara Sekuler

Ada Sepotong Surga di masjid Nabawi

Tak lama setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW membangun sebuah masjid yang dahulu berwujud sangat sederhana. Bangunannya tak beratap dengan dinding yang hanya terbuat dari lumpur. Meski begitu, Sang Nabi sangat mencintai masjid ini sehingga sering menyebutnya sebagai “Masjidku...” Sebutan itu terus dipakai sampai sekarang, yakni Al-Masjid al-Nabawi yang artinya Masjid Sang Nabi.
Mengunjungi Masjid Nabawi di Madinah memang bukan bagian dari ritual haji dan umrah. Namun karena keberadaannya sangat penting dalam sejarah perkembangan Islam, hampir semua jemaah tak melewatkannya. Pendek kata, ibadah haji atau umrah terasa kurang lengkap tanpa berziarah ke Masjid Nabawi.

Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Masjid Nabawi. Saat kunjungan pertama saya ikut paket tur, tapi untuk kunjungan ulangan ini saya memilih berangkat sendiri menggunakan bus umum. Karena sekarang saya tinggal dan bekerja di Jeddah, perjalanan mandiri ke Madinah bukan lagi perkara sulit. Bus menuju Madinah berangkat hampir setiap jam dari Jeddah dengan ongkos cukup terjangkau pula.

Waktu tempuh Jeddah-Madinah memakan waktu sekitar 5 jam menggunakan bus, tarifnya 60 riyal (sekitar Rp160 ribu) untuk bus VIP. Saya memilih perjalanan siang hari supaya bisa melihat pemandangan dengan jelas. Maklum, setelah beberapa bulan tinggal di Jeddah dan Riyadh, saya cukup penasaran untuk melihat bagian lain Arab Saudi di luar kota Jeddah yang saya tinggali sekarang.

Seperti negara-negara Teluk lainnya, kondisi jalan raya di Arab Saudi sangat bagus. Perjalanan Jeddah-Madinah melalui jalan yang sangat mulus, tak ada macet seperti di Indonesia. Sayangnya, budaya mengemudi masih sangat buruk sehingga sering terjadi kecelakaan lalu lintas. Saya sendiri sering geleng-geleng kepala melihat nekatnya pengendara di sini. Mobil yang ringsek sudah jadi pemandangan biasa. Pokoknya asal masih bisa jalan, mobil tersebut akan terus dipakai.

Begitulah, jalanan di Arab Saudi suka bikin saya ngeri sendiri. Dan benar saja, tak sampai satu jam bus meninggalkan terminal Jeddah, saya sudah melihat kejadian yang mengenaskan. Sebuah mobil sedan hitam terlihat dalam kondisi terbalik di pinggir jalan. Tak lama kemudian ada ambulan datang, nampaknya kecelakaan itu baru saja terjadi. Astaghfirullah...

Hanya gurun gersang yang terlihat sepanjang perjalanan

Bus yang kami tumpangi juga berhenti di tengah gurun
Panorama sepanjang jalan Jeddah-Madinah ternyata cukup membosankan dan saya juga tak punya teman ngobrol karena penumpang bus sangat sedikit. Pemandangan yang terlihat hanya padang pasir kering dan sesekali ada bukit-bukit batu yang tidak terlalu menarik. Ini sangat berbeda dengan jalanan Riyadh-Jeddah yang menawarkan panorama memikat berupa bukit-bukit batu yang spektakuler setelah kita melewati kota Taif dan Mekkah.

Namun saya segera mengingat perjalanan panjang yang ditempuh Rasulullah bersama para sahabat saat hijrah dari Mekkah ke Madinah. Mereka hanya naik unta, atau bahkan hanya jalan kaki di kawasan yang sangat gersang itu. Kebosanan saya tidak ada apa-apanya dibanding beratnya perjalanan yang mereka lalui.

Di tengah perjalanan, bus berhenti sekali di sebuah toko untuk istirahat dan salat. Seperti pengalaman perjalanan dengan bus terdahalu, toilet di dekat masjid ternyata lumayan jorok. Bau pesing menguap ke mana-mana, bahkan ada kotoran manusia masih tertinggal di lubang kloset. Harap diketahui saja, kondisi sebagian toilet umum di Arab Saudi memang seperti itu. Jadi kalau Anda juga berkesempatan mengalami perjalanan yang sama, sebaiknya gunakan toilet bus yang biasanya lebih bersih.

Salah satu sudut kota Madinah
Setelah kurang lebih 5 jam mengarungi lautan gurun pasir, akhirnya saya sampai di kota suci Madinah. Seperti kota-kota lainnya di Arab Saudi, bangunan-bangunan baru di Madinah tidak menarik dan kurang memiliki karakter. Masjid Nabawi yang harusnya menjadi tengara kota itu seperti tenggelam di antara gedung-gedung tinggi yang mengelilinya. Untungnya, kondisi lingkungan masih cukup bersih dan teratur, relatif lebih baik dibanding kota Mekkah.

Dari terminal bus Madinah, saya cukup berjalan kaki selama 15 menit untuk mencapai Masjid Nabawi. Di sepanjang jalan menuju masjid, ada banyak orang yang menawarkan kamar. Kalau Anda melakukan perjalanan mandiri, mungkin bisa memanfaatkan jasa mereka untuk mendapatkan kamar yang sesuai bujet. Di luar musim haji dan umrah Ramadan, tarif kamar di Madinah ternyata cukup murah.

Saat iseng tanya berapa tarif kamar termurah, harganya ternyata mulai 100 riyal saja (sekitar Rp260 ribu) per malam. Kalau mau lebih murah lagi, sang calo juga menawarkan berbagi kamar dengan orang lain (sharing room) dengan membayar 50 riyal saja (sekitar Rp130 ribu). Namun saya mengabaikan tawaran tersebut karena memang tak ada rencana menginap di madinah. Setelah berziarah ke Masjid Nabawi, saya mau langsung pulang ke Jeddah.

Di awal bulan Syawal ini, pengunjung Masjid Nabawi kebanyakan warga lokal. Musim ramai jemaah umrah dari luar negeri saat Ramadan lalu baru saja usai. Suasananya cukup lengang, menciptakan perasaan damai saat kita mengunjunginya.

ar-Rawdah yang berkubah hijau, di dalamnya terdapat makam Nabi Muhammad SAW

Pintu masuk menuju ar-Rawdah
Setelah mengambil wudhu, saya langsung masuk ke bagian paling penting di Masjid Nabawi yang disebut ar-Rawdah. Di bangunan berkubah hijau ini terletak makam Nabi Muhammad SAW, Khalifah Abu Bakar dan Umar. Di samping makam Rasulullah ini ada pula bagian yang dibiarkan kosong yang kelak akan menjadi kuburan Isa Al Masih. Menurut riwayat, kelak di akhir zaman Isa Al Masih akan turun ke bumi, lalu setelah meninggal ia dikuburkan di samping makan Rasulullah.

Letak ar-Rawdah ini dahulu adalah rumah Nabi Muhammad SAW serta menjadi lokasi Masjid Nabawi yang pertama kali dibangun. Saat musim haji atau umrah Ramadan, agak sulit memasukinya karena jumlah jemaah yang membludak. Namun kalau kondisinya memungkinkan, sempatkan untuk salat di dalam ar-Rawdah karena ada banyak keutamaannya. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah pernah meriwatkan bahwa bagian antara rumah dan mimbar masjidnya adalah potongan surga.

Saya mungkin tidak terkesan dengan kota Madinah yang dipadati gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan dan hotel-hotel mewah. Namun saya bahagia karena berhasil menjejakkan kaki di ar-Rawdah, potongan surga yang ada di bumi.....

Baca juga cerita berikutnya tentang kesan saya saat mengunjungi kota suci Mekkah. Bookmark halaman blog ini supaya tidak kelupaan, he he... Ditunggu ya, mudah-mudahan segera ada waktu untuk menulisnya.

Baca juga:
Serunya Naik Bus di Turki
Dubai, Keajaiban di Tengah Gurun
Lautan Jilbab di Negara Sekuler

Tidak ada komentar

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...