Beranda

    Social Items



Barisan panjang biksu berjubah warna jingga dan berjalan tanpa alas kaki, menjadi pemandangan menarik yang mengawali pagi hari di kota Luang Prabang, Laos utara. Para rohaniwan Buddha itu melakukan ritual Tak Bat, upacara pengumpulan sumbangan yang menjadi tradisi aliran Buddha Theravada sejak berabad-abad lalu. Sayangnya, kesakralan ritual ini mulai terganggu akibat ulah wisatawan.

Menurut kepercayaan Buddha Theravada, para biksu tidak diperkenankan bertani dan memasak makanan sendiri. Satu-satunya cara menunjang kelangsungan hidupnya adalah dengan mengumpulkan sumbangan dari umat berupa makanan atau terkadang uang. Para biksu makan sekali sehari lewat pemberian itu, lalu hanya minum air sampai keesokan pagi.

Sebagian besar penduduk negara-negara Indocina seperti Thailand dan Laos merupakan penganut aliran Buddha Theravada. Jadi ritual Tak Bat ini tak hanya bisa dijumpai di Luang Prabang, tapi juga di kota-kota lainnya di Indocina seperti Bangkok dan Chiang Mai. Namun Tak Bat di Luang Prabang terlihat lebih hidup dan spektakuler karena kota kecil ini memiliki banyak biara dengan ratusan biksu yang setiap pagi melakukan upacara tersebut.

Keunikan ini pula yang mengundang wisatawan dari seluruh penjuru dunia mengunjungi Luang prabang. Tak pelak lagi, ritual Tak Bat sekarang menjadi atraksi wisata yang masuk dalam daftar wajib lihat bagi pelancong, bahkan turut dijual oleh agen wisata.

Membeli nasi ketan kemudian diberikan pada biksu
Sejak pukul 05.30, kerumunan turis yang sebagian besar berbahasa Mandarin sudah terlihat di beberapa sudut jalan Luang Prabang. Rupanya kota kecil itu sedang kebanjiran wisatawan dari Cina yang memanfaatkan liburan panjang National Day Week setiap awal Oktober. Turis bule juga cukup banyak, namun mereka hanya membentuk kelompok kecil-kecil sehingga tak terlalu mencolok.

Di sudut lainnya, pedagang lokal menawarkan dagangannya dengan agresif. Mereka merayu semua turis yang lewat supaya membeli nasi ketan dan buah-buahan untuk diberikan pada biksu. Perlengkapan ritual Tak Bat seperti alas duduk dan selendang tradisional Laos tak lupa pula turut disewakan. Singkat cerita, ritual Bak Bat sudah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan.

Aksi jual beli ini sebenarnya bertentangan dengan aturan ritual Tak Bat. Umat harusnya memasak sendiri makanan yang akan diberikan pada biksu, bukan membeli jadi dari pedagang jalanan. Tetapi para turis rupanya ingin terlibat langsung dalam upacara keagamaan itu, mereka tak puas hanya menonton.

Turis menunggu biksu sambil berfoto-foto
Sekitar pukul 6 pagi, sudah mulai terlihat iring-iringan panjang para biksu yang berjalan dengan sikap meditasi, yaitu tidak berbicara dan melakukan kontak mata. Biksu senior berjalan paling depan, lalu diikuti biksu yang lebih muda di belakangnya. Semuanya harus membawa mangkuk yang nantinya akan terisi dengan makanan pemberian umat.

Iring-iringan biksu ini akan berjalan di depan orang-orang yang sudah menyiapkan sumbangan untuk mereka. Lalu tanpa berbicara sepatah kata pun, umat memasukkan sejumput makanan ke dalam mangkuk dan dilakukan terus-menerus sampai makanan yang mereka siapkan habis.

Namun suasana hikmat ini menjadi terganggu dengan keberadaan fotografer amatir yang mengambil foto dari jarak sangat dekat. Beberapa orang bahkan berani memotret biksu dengan jarak kurang dari satu meter menggunakan lampu kilat! Tanpa rasa bersalah, aksi itu dilakukan berulang kali dan tak ada satu orang pun yang menegur mereka.

Ritual agama yang kini jadi atraksi wisata
Karena kondisi ini, banyak warga lokal mulai enggan ikut serta dalam ritual Tak Bat, mereka menolak dijadikan tontotan. Para biksu juga sempat mengemukakan rencana mereka untuk menghentikan upacara ini lantaran perilaku wisatawan sudah sulit dikendalikan. Kalau itu benar-benar terlaksana, maka akan hilanglah ciri khas Luang Prabang yang paling unik itu.

Ritual Tak Bat di Luang prabang saat ini terasa sudah lepas dari makna spiritualnya sebagai interaksi yang indah antara biksu dan umat.

Agaknya turis tak perlu ikut-ikutan memberi persembahan, mereka cukup melihat dari jauh saja. Biarkan ritual Tak Bat menjadi milik warga Luang Prabang!

Tak Bat, Ritual Pagi di Luang Prabang



Barisan panjang biksu berjubah warna jingga dan berjalan tanpa alas kaki, menjadi pemandangan menarik yang mengawali pagi hari di kota Luang Prabang, Laos utara. Para rohaniwan Buddha itu melakukan ritual Tak Bat, upacara pengumpulan sumbangan yang menjadi tradisi aliran Buddha Theravada sejak berabad-abad lalu. Sayangnya, kesakralan ritual ini mulai terganggu akibat ulah wisatawan.

Menurut kepercayaan Buddha Theravada, para biksu tidak diperkenankan bertani dan memasak makanan sendiri. Satu-satunya cara menunjang kelangsungan hidupnya adalah dengan mengumpulkan sumbangan dari umat berupa makanan atau terkadang uang. Para biksu makan sekali sehari lewat pemberian itu, lalu hanya minum air sampai keesokan pagi.

Sebagian besar penduduk negara-negara Indocina seperti Thailand dan Laos merupakan penganut aliran Buddha Theravada. Jadi ritual Tak Bat ini tak hanya bisa dijumpai di Luang Prabang, tapi juga di kota-kota lainnya di Indocina seperti Bangkok dan Chiang Mai. Namun Tak Bat di Luang Prabang terlihat lebih hidup dan spektakuler karena kota kecil ini memiliki banyak biara dengan ratusan biksu yang setiap pagi melakukan upacara tersebut.

Keunikan ini pula yang mengundang wisatawan dari seluruh penjuru dunia mengunjungi Luang prabang. Tak pelak lagi, ritual Tak Bat sekarang menjadi atraksi wisata yang masuk dalam daftar wajib lihat bagi pelancong, bahkan turut dijual oleh agen wisata.

Membeli nasi ketan kemudian diberikan pada biksu
Sejak pukul 05.30, kerumunan turis yang sebagian besar berbahasa Mandarin sudah terlihat di beberapa sudut jalan Luang Prabang. Rupanya kota kecil itu sedang kebanjiran wisatawan dari Cina yang memanfaatkan liburan panjang National Day Week setiap awal Oktober. Turis bule juga cukup banyak, namun mereka hanya membentuk kelompok kecil-kecil sehingga tak terlalu mencolok.

Di sudut lainnya, pedagang lokal menawarkan dagangannya dengan agresif. Mereka merayu semua turis yang lewat supaya membeli nasi ketan dan buah-buahan untuk diberikan pada biksu. Perlengkapan ritual Tak Bat seperti alas duduk dan selendang tradisional Laos tak lupa pula turut disewakan. Singkat cerita, ritual Bak Bat sudah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan.

Aksi jual beli ini sebenarnya bertentangan dengan aturan ritual Tak Bat. Umat harusnya memasak sendiri makanan yang akan diberikan pada biksu, bukan membeli jadi dari pedagang jalanan. Tetapi para turis rupanya ingin terlibat langsung dalam upacara keagamaan itu, mereka tak puas hanya menonton.

Turis menunggu biksu sambil berfoto-foto
Sekitar pukul 6 pagi, sudah mulai terlihat iring-iringan panjang para biksu yang berjalan dengan sikap meditasi, yaitu tidak berbicara dan melakukan kontak mata. Biksu senior berjalan paling depan, lalu diikuti biksu yang lebih muda di belakangnya. Semuanya harus membawa mangkuk yang nantinya akan terisi dengan makanan pemberian umat.

Iring-iringan biksu ini akan berjalan di depan orang-orang yang sudah menyiapkan sumbangan untuk mereka. Lalu tanpa berbicara sepatah kata pun, umat memasukkan sejumput makanan ke dalam mangkuk dan dilakukan terus-menerus sampai makanan yang mereka siapkan habis.

Namun suasana hikmat ini menjadi terganggu dengan keberadaan fotografer amatir yang mengambil foto dari jarak sangat dekat. Beberapa orang bahkan berani memotret biksu dengan jarak kurang dari satu meter menggunakan lampu kilat! Tanpa rasa bersalah, aksi itu dilakukan berulang kali dan tak ada satu orang pun yang menegur mereka.

Ritual agama yang kini jadi atraksi wisata
Karena kondisi ini, banyak warga lokal mulai enggan ikut serta dalam ritual Tak Bat, mereka menolak dijadikan tontotan. Para biksu juga sempat mengemukakan rencana mereka untuk menghentikan upacara ini lantaran perilaku wisatawan sudah sulit dikendalikan. Kalau itu benar-benar terlaksana, maka akan hilanglah ciri khas Luang Prabang yang paling unik itu.

Ritual Tak Bat di Luang prabang saat ini terasa sudah lepas dari makna spiritualnya sebagai interaksi yang indah antara biksu dan umat.

Agaknya turis tak perlu ikut-ikutan memberi persembahan, mereka cukup melihat dari jauh saja. Biarkan ritual Tak Bat menjadi milik warga Luang Prabang!

2 komentar:

  1. Anonim12.9.17

    Ternyata sama aja ya dengan di borobudur kalo pas waisak :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan cuma pas Waisak, tiap hari ramenya kayak gini di Luang Prabang.

      Hapus

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...