Beranda

    Social Items

Bangun pagi saat liburan sepertinya bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi apakah Anda rela melewatkan kesempatan melihat matahari terbit di Angkor Wat hanya gara-gara malas bangun pagi? Begitulah, meskipun kepala masih terasa berat karena kurang tidur, saya paksakan bangun pukul setengah lima pagi karena sangat penasaran dengan cerita tentang indahnya matahari terbit di Angkor wat.

Baru saja selesai mandi, pintu kamar hostel saya sudah diketuk seseorang. Pasti itu supir tuk-tuk yang akan mengantar saya ke Angkor Wat. Ini kan belum jam lima pagi, kenapa saya sudah dijemput, omel saya dalam hati. Tapi saya segera tersadar, perjalanan yang dimulai dengan rasa kesal akan berakhir tidak menyenangkan.

Relief Angkor Wat
Meskipun masih terkena penyakit pusing dan mulas karena bangun terlalu awal (tahu sendiri kebiasaan saya yang suka bangun siang), saya berusaha tetap ramah dengan Vannyat si supir tuk-tuk. Sambil membuka pintu kamar, saya sapa Vannyat dengan senyuman lebar, “Hi, good morning my friend....”. Mulai pagi itu, ia akan menemani saya berkeliling Angkor seharian penuh.

Supir tuk-tuk tertidur karena kelelahan setelah seharian mengantar turis
Suasana masih gelap gulita dan sepi ketika kami meninggalkan hostel. Tapi setelah masuk ke jalan besar, saya dibuat agak terkejut dengan ramainya lalu lintas. Mulai tuk-tuk, sepeda motor, sepeda, bus dan minibus, semuanya berbondong-bondong menuju Angkor Wat. Astaga, di pagi yang masih gelap ini kami memenuhi jalanan dengan memendam hasrat yang sama. Ingin melihat matahari terbit di Angkor Wat!

Taman Arkeologi Angkor jaraknya hanya sekitar 6 kilometer dari Siem Reap, sebuah kota kecil yang dijadikan basis penginapan bagi turis yang ingin menjelajah Angkor. Meskipun lokasinya cukup dekat dari Siem Reap, kawasan taman purbakala ini meliputi area yang sangat luas. Candi-candi yang paling terkenal seperti Angkor Thom, Bayon, Ta Prohm dan tentu saja Angkor Wat, berada di lokasi inti yang luasnya 24 kilometer persegi.

Area keseluruhan Taman Arkeologi Angkor meliputi kawasan seluas 1000 kilometer persegi atau 1,5 kali luas provinsi DKI Jakarta. Ada ratusan candi di kawasan ini. Karena sangat luas, sangat mustahil bisa menjelajahinya hanya dalam sehari. Menurut pakar arkeologi, Angkor adalah kota terbesar di dunia pada masa pra industri. Saat jayanya, kota yang menjadi pusat Imperium Khmer ini dihuni lebih dari satu juta orang.

Tuk-tuk yang saya naiki terus melaju menembus pagi yang masih buta. Meski sudah lewat jam lima, belum terlihat sedikitpun semburat fajar. Kami seperti adu balap dengan tuk-tuk yang lain. Mungkin itu sering dilakukan Vannyat untuk mengusir rasa kantuknya. Bayangkan saja, ia harus bangun pagi-pagi sekali setiap hari untuk mengantar wisatawan. Memikirkan ini, saya merasa hidup yang saya jalani jauh lebih nyaman. Saya harus belajar lagi untuk tidak banyak mengeluh.

Tak berapa lama kemudian, kami sampai di loket penjualan tiket masuk Taman Arkeologi Angkor. Saya harus merogoh kocek cukup dalam karena harga tiketnya lumayan mahal. Saya membeli three day pass seharga USD40. Lumayan mahal, bukan? Tiket jenis ini bisa digunakan untuk tiga kali masuk ke kawasan Angkor. Saya memang ingin menjelajah taman arkeologi yang terkenal itu lebih dari sehari. Esok harinya saya akan kembali lagi ke Angkor tidak dengan tuk-tuk, tapi dengan sepeda. Seru sekali, bukan?

Kalau Anda hanya ingin menjelajah Angkor dalam sehari, bisa membeli one day pass seharga USD20 (masih mahal ya). Oh ya, tiket masuk Angkor tidak bisa dipakai bergantian karena foto Anda akan tercetak di kertas tiket. Semua pembeli tiket akan diambil fotonya oleh petugas. Karena ada fotonya, tiket itu bisa dijadikan cendera mata. Kalau perlu, pajang di bingkai sebagai bukti Anda pernah ke Angkor!

Akhirnya kami sampai juga di Angkor Wat. Selain menjadi supir tuk-tuk, Vannyat merangkap menjadi pemandu saya. Sebenarnya ini ilegal karena untuk menjadi pemandu wisata harus punya izin khusus. Tapi saya merasa lebih nyaman dengan Vannyat karena kami sudah akrab. Lagipula ia sepertinya sudah biasa main kucing-kucingan dengan petugas, jadi saya yakin ia bisa mengatasi masalah apapun, ha ha....

Setelah berada di dalam kompleks candi, lagi-lagi saya dikejutkan dengan ramainya turis yang memadati Angkor Wat. Padahal, di luar sana bus-bus besar masih saja berdatangan. Sulit dipercaya, saat masih pagi buta ratusan orang berkumpul hanya untuk membuktikan cerita tentang indahnya matahari terbit di Angkor. Oh Angkor, kau bisa membuat semua orang melakukan apa saja untuk menikmati keindahanmu....

Turis memadati tepian kolam teratai untuk menikmati matahari terbit di Angkor Wat
Saya dan Vannyat langsung menuju kolam teratai yang merupakan spot terbaik untuk menikmati matahari terbit di Angkor Wat. Kami memilih kolam di sebelah kanan karena kolam lainnya yang berada di bagian kiri sudah sangat padat dengan turis. Saya sampai geleng-geleng kepala melihat ramainya jumlah turis. Untung saya memilih kolam di sebelah kanan yang jauh lebih sepi.

Lalu apakah panorama matahari terbit di Angkor Wat benar-benar seindah seperti yang diceritakan? Sejujurnya, sulit bagi saya untuk meresapi daya magis candi itu di tengah kerumuman turis yang sibuk dengan kameranya. Lampu kilat dari kamera turis yang tak habis-habis memotret sangat mengganggu pemandangan.

Namun, pesona matahari terbit di Angkor Wat sebenarnya tak berkurang indahnya hanya gara-gara keberadaan turis. Bagi sebagian orang, keramaian bisa mengurangi kenikmatan dalam meresapi objek yang begitu magis seperti Angkor Wat. Tapi sebagian lainnya justru menikmati kemeriahan itu. Barangkali yang kita perlukan hanya tempat khusus supaya Angkor Wat bisa dinikmati dengan cara yang kita sukai.

Harus diakui, panorama matahari terbit di Angkor Wat sangat menarik. Semburat warna ungu bercampur merah jambu dan jingga di langit, ditambah siluet menara Angkor Wat, adalah pemandangan yang sangat fotogenik. Rasanya tak seorangpun akan melewatkan momen itu untuk diabadikan dengan kamera. Meskipun harus bangun pagi, semuanya akan terbayar dengan cantiknya pemandangan yang bisa dinikmati!

Wow, inilah panorama matahari terbit di Angkor Wat
Memang, hal yang kita dapatkan bukanlah pengalaman misterius seperti yang diceritakan pengunjung Angkor Wat sekian dekade lalu saat candi itu masih sepi turis. Saking jatuh cintanya, bahkan ada pengunjung yang minta abunya disebar di sekitar Angkor Wat setelah ia meninggal. Meskipun kini Angkor Wat sudah dikunjungi jutaan turis, saya yakin candi itu masih menyimpan misteri yang belum sepenuhnya tersibak.

Simak cerita saya berikutnya saat mengamati detail Angkor Wat yang sering dianggap mahakarya Michelangelo tak dikenal. Banyak hal-hal mengagumkan yang bisa ditemukan di kompleks candi yang dianggap paling indah di dunia ini. Tunggu kelanjutannya, oke?!?!

BACA JUGA:
Mengenal Istilah-istilah Backpacking
Tidur Nyenyak di Penginapan Murah
Makan Sandwich Ikan di Bawah Jembatan Galata
Enam Hal Gratis yang Bisa Dilakukan di Dubai

Menanti Matahari Terbit di Angkor Wat

Bangun pagi saat liburan sepertinya bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi apakah Anda rela melewatkan kesempatan melihat matahari terbit di Angkor Wat hanya gara-gara malas bangun pagi? Begitulah, meskipun kepala masih terasa berat karena kurang tidur, saya paksakan bangun pukul setengah lima pagi karena sangat penasaran dengan cerita tentang indahnya matahari terbit di Angkor wat.

Baru saja selesai mandi, pintu kamar hostel saya sudah diketuk seseorang. Pasti itu supir tuk-tuk yang akan mengantar saya ke Angkor Wat. Ini kan belum jam lima pagi, kenapa saya sudah dijemput, omel saya dalam hati. Tapi saya segera tersadar, perjalanan yang dimulai dengan rasa kesal akan berakhir tidak menyenangkan.

Relief Angkor Wat
Meskipun masih terkena penyakit pusing dan mulas karena bangun terlalu awal (tahu sendiri kebiasaan saya yang suka bangun siang), saya berusaha tetap ramah dengan Vannyat si supir tuk-tuk. Sambil membuka pintu kamar, saya sapa Vannyat dengan senyuman lebar, “Hi, good morning my friend....”. Mulai pagi itu, ia akan menemani saya berkeliling Angkor seharian penuh.

Supir tuk-tuk tertidur karena kelelahan setelah seharian mengantar turis
Suasana masih gelap gulita dan sepi ketika kami meninggalkan hostel. Tapi setelah masuk ke jalan besar, saya dibuat agak terkejut dengan ramainya lalu lintas. Mulai tuk-tuk, sepeda motor, sepeda, bus dan minibus, semuanya berbondong-bondong menuju Angkor Wat. Astaga, di pagi yang masih gelap ini kami memenuhi jalanan dengan memendam hasrat yang sama. Ingin melihat matahari terbit di Angkor Wat!

Taman Arkeologi Angkor jaraknya hanya sekitar 6 kilometer dari Siem Reap, sebuah kota kecil yang dijadikan basis penginapan bagi turis yang ingin menjelajah Angkor. Meskipun lokasinya cukup dekat dari Siem Reap, kawasan taman purbakala ini meliputi area yang sangat luas. Candi-candi yang paling terkenal seperti Angkor Thom, Bayon, Ta Prohm dan tentu saja Angkor Wat, berada di lokasi inti yang luasnya 24 kilometer persegi.

Area keseluruhan Taman Arkeologi Angkor meliputi kawasan seluas 1000 kilometer persegi atau 1,5 kali luas provinsi DKI Jakarta. Ada ratusan candi di kawasan ini. Karena sangat luas, sangat mustahil bisa menjelajahinya hanya dalam sehari. Menurut pakar arkeologi, Angkor adalah kota terbesar di dunia pada masa pra industri. Saat jayanya, kota yang menjadi pusat Imperium Khmer ini dihuni lebih dari satu juta orang.

Tuk-tuk yang saya naiki terus melaju menembus pagi yang masih buta. Meski sudah lewat jam lima, belum terlihat sedikitpun semburat fajar. Kami seperti adu balap dengan tuk-tuk yang lain. Mungkin itu sering dilakukan Vannyat untuk mengusir rasa kantuknya. Bayangkan saja, ia harus bangun pagi-pagi sekali setiap hari untuk mengantar wisatawan. Memikirkan ini, saya merasa hidup yang saya jalani jauh lebih nyaman. Saya harus belajar lagi untuk tidak banyak mengeluh.

Tak berapa lama kemudian, kami sampai di loket penjualan tiket masuk Taman Arkeologi Angkor. Saya harus merogoh kocek cukup dalam karena harga tiketnya lumayan mahal. Saya membeli three day pass seharga USD40. Lumayan mahal, bukan? Tiket jenis ini bisa digunakan untuk tiga kali masuk ke kawasan Angkor. Saya memang ingin menjelajah taman arkeologi yang terkenal itu lebih dari sehari. Esok harinya saya akan kembali lagi ke Angkor tidak dengan tuk-tuk, tapi dengan sepeda. Seru sekali, bukan?

Kalau Anda hanya ingin menjelajah Angkor dalam sehari, bisa membeli one day pass seharga USD20 (masih mahal ya). Oh ya, tiket masuk Angkor tidak bisa dipakai bergantian karena foto Anda akan tercetak di kertas tiket. Semua pembeli tiket akan diambil fotonya oleh petugas. Karena ada fotonya, tiket itu bisa dijadikan cendera mata. Kalau perlu, pajang di bingkai sebagai bukti Anda pernah ke Angkor!

Akhirnya kami sampai juga di Angkor Wat. Selain menjadi supir tuk-tuk, Vannyat merangkap menjadi pemandu saya. Sebenarnya ini ilegal karena untuk menjadi pemandu wisata harus punya izin khusus. Tapi saya merasa lebih nyaman dengan Vannyat karena kami sudah akrab. Lagipula ia sepertinya sudah biasa main kucing-kucingan dengan petugas, jadi saya yakin ia bisa mengatasi masalah apapun, ha ha....

Setelah berada di dalam kompleks candi, lagi-lagi saya dikejutkan dengan ramainya turis yang memadati Angkor Wat. Padahal, di luar sana bus-bus besar masih saja berdatangan. Sulit dipercaya, saat masih pagi buta ratusan orang berkumpul hanya untuk membuktikan cerita tentang indahnya matahari terbit di Angkor. Oh Angkor, kau bisa membuat semua orang melakukan apa saja untuk menikmati keindahanmu....

Turis memadati tepian kolam teratai untuk menikmati matahari terbit di Angkor Wat
Saya dan Vannyat langsung menuju kolam teratai yang merupakan spot terbaik untuk menikmati matahari terbit di Angkor Wat. Kami memilih kolam di sebelah kanan karena kolam lainnya yang berada di bagian kiri sudah sangat padat dengan turis. Saya sampai geleng-geleng kepala melihat ramainya jumlah turis. Untung saya memilih kolam di sebelah kanan yang jauh lebih sepi.

Lalu apakah panorama matahari terbit di Angkor Wat benar-benar seindah seperti yang diceritakan? Sejujurnya, sulit bagi saya untuk meresapi daya magis candi itu di tengah kerumuman turis yang sibuk dengan kameranya. Lampu kilat dari kamera turis yang tak habis-habis memotret sangat mengganggu pemandangan.

Namun, pesona matahari terbit di Angkor Wat sebenarnya tak berkurang indahnya hanya gara-gara keberadaan turis. Bagi sebagian orang, keramaian bisa mengurangi kenikmatan dalam meresapi objek yang begitu magis seperti Angkor Wat. Tapi sebagian lainnya justru menikmati kemeriahan itu. Barangkali yang kita perlukan hanya tempat khusus supaya Angkor Wat bisa dinikmati dengan cara yang kita sukai.

Harus diakui, panorama matahari terbit di Angkor Wat sangat menarik. Semburat warna ungu bercampur merah jambu dan jingga di langit, ditambah siluet menara Angkor Wat, adalah pemandangan yang sangat fotogenik. Rasanya tak seorangpun akan melewatkan momen itu untuk diabadikan dengan kamera. Meskipun harus bangun pagi, semuanya akan terbayar dengan cantiknya pemandangan yang bisa dinikmati!

Wow, inilah panorama matahari terbit di Angkor Wat
Memang, hal yang kita dapatkan bukanlah pengalaman misterius seperti yang diceritakan pengunjung Angkor Wat sekian dekade lalu saat candi itu masih sepi turis. Saking jatuh cintanya, bahkan ada pengunjung yang minta abunya disebar di sekitar Angkor Wat setelah ia meninggal. Meskipun kini Angkor Wat sudah dikunjungi jutaan turis, saya yakin candi itu masih menyimpan misteri yang belum sepenuhnya tersibak.

Simak cerita saya berikutnya saat mengamati detail Angkor Wat yang sering dianggap mahakarya Michelangelo tak dikenal. Banyak hal-hal mengagumkan yang bisa ditemukan di kompleks candi yang dianggap paling indah di dunia ini. Tunggu kelanjutannya, oke?!?!

BACA JUGA:
Mengenal Istilah-istilah Backpacking
Tidur Nyenyak di Penginapan Murah
Makan Sandwich Ikan di Bawah Jembatan Galata
Enam Hal Gratis yang Bisa Dilakukan di Dubai

Tidak ada komentar

Punya pertanyaan atau komentar? Tuliskan di sini...